Teater I Lagaligo Dipentaskan di Tanah Kelahirannya
April 24, 2011
SURABAYA. TEATER I LAGALIGO – asal usul orang bugis dipentaskan di Makassar dengan biaya tiga milyar rupiah. Enam ratus helai pakaian didatangkan dari Milan Italia. Pementasan ini disutradarai oleh seorang amerika, Robert Wilson. Teater ini sebelumnya telah melanglang buana 7 tahun di Singapura, Amsterdam,Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Jakarta, Melbourne hingga Taipei. Setelah tujuh tahun dibawa keliling dunia, kisah I La Galigo akhirnya dipentaskan di Makassar, boleh dibilang tanah kelahirannya. Pementasan ini bisa menjadi pintu masuk untuk membuka tabir mitologi I La Galigo yang belum terkuak.
~~~~~~~~~~~~~~
Tabu telah dilanggar. Sawerigading menebang pohon suci welenrenge. Tiada pilihan lain baginya selain meninggalkan tanah kelahiran di Luwuq (Luwu) dan We Tenriabeng, saudari kembarnya. Pengembaraan sang putra dewa mencari cinta yang sempurna pun dimulai hingga dia sampai ke negeri China dan menikahi I We Cudai.
Perjalanan Sawerigading ini menjadi inti cerita pementasan I La Galigo. Kisah Sawerigading ini dijalin dalam sebuah rentetan kejadian dari siklus penciptaan, pengosongan, hingga pembaruan tanpa henti di Dunia Tengah (Bumi). Sebagai catatan, mitologi I La Galigo membagi dunia menjadi tiga, yakni Dunia Atas, Dunia Bawah, dan Dunia Tengah.
Lakon arahan sutradara teater kontemporer Robert Wilson itu hanya mengambil secuplik sureq (serat) I La Galigo yang dianggap sebagai naskah sastra terpanjang di dunia. Panjangnya diperkirakan dua kali lipat dari naskah Mahabharata.
”Ini cerita versi saya yang saya kembangkan dari naskah I La Galigo,” ujar Robert Wilson seusai konferensi pers.
Teater internasional I La Galigo yang diambil dari manuskrip kuno masyarakat Bugis,Sureq Galigo, yang disutradarai Robert Wilson, asal Amerika Serikat, untuk pertama kalinya dipentaskan di Makassar. Pementasan ini berlangsung sekitar 30 menit.
Pementasan I La Galigo itu dianggap momen penting khususnya bagi orang Bugis. Inilah pertama kalinya lakon yang selama tujuh tahun dibawa keliling dunia itu dipentaskan di tanah kelahirannya sendiri. Sebelumnya, lakon ini dipentaskan di berbagai panggung teater kelas dunia dalam rentang tujuh tahun, mulai dari Singapura, Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Jakarta, Melbourne, Milan, hingga Taipei.
Pementasan di kota-kota itu, kabarnya, mendapat sambutan bagus.
Teriakan penonton saat sutradara Robert Wilson berdiri dari sela-sela barisan penonton VVIP menuju panggung utama diikuti gemuruh tepuk tangan penonton.
Tokoh penting yang membacakan sureq (naskah), Puang Matoa Saidi dalam pementasan I La Galigo telah menghafal sembilan naskah dialog yang dibebankan sutradara dalam pementasan itu.
Setelah sekian lama berkeliling dunia, Saidi mengaku sudah terbiasa membaca sureq dalam naskah itu sehingga dirinya sudah mulai menghafal sembilan naskah yang menjadi tugas utamanya dalam pementasan I La Galigo.
“Ada sembilan halaman yang sudah saya hafal, mulai dari waktu mula-mula, kisah pohon yang dipotong hingga akhir cerita,” ucap Puang Matoa Saidi saat ditemui di Makassar.
CINTA TERLARANG DARI SAWERIGADING
Inti cerita dari 12 adegan yang ditampilkan dalam pementasan ini, kata dia menggambarkan kisah cinta terlarang tokoh utama, Sawerigading dengan saudari kembarnya We Tenriabeng yang perjalanannya mampu mengusir nafsu yang dapat menghancurkan kerajaan Luwu.
Dia menceritakan, sureq Galigo menggambarkan suatu kisah perjalanan keturunan para dewa saat menembus rangkaian tiga dunia yang mencakup dunia atas dan dunia bawah, jagat dewa dan dunia tengah.
“Sawerigading yang dikisahkan dalam naskah itu, bercerita tentang ikatan suci antara manusia dan dewa, manusia dan alam serta hubungan manusia dengan manusia,” kata dia .
Pemimpin tertinggi komunitas Bissu di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulsel ini menjadi pusat perhatian banyak pencinta teater internasional sejak Puang Saidi terlibat dalam pementasan teater Galigo yang telah pentas di Belanda, Italia, Amerika, Singapura, Perancis dan negara dunia lainnya.
Pementasan Galigo di Makassar, tutur dia banyak mengalami perubahan mulai perlengkapan ritual hingga kostum yang digunakan dirinya telah dipakai barang-barang yang asli, bukan lagi aksesoris milik tim kreatif pementasan Galigo.
“Panitia telah mengijinkan saya memakai perlengkapan ritual milik saya di kampung. Saya sudah sewa mobil ke Segeri, membawa alat-alat yang biasa dipakai ritual disini,” ucap Saidi dengan dialeg bugisnya yang masih cukup kental.
Meskipun tidak seluruh perangkat ritual yang digunakan dalam pementasan itu, dia mengaku sudah cukup lega karena aksesoris yang digunakan sudah sesuai dengan adat masyarakat bugis.
“Seperti sanggul di kepala saya tidak pakai plastik lagi, tetapi sudah pakai sanggul yang asli,” ujar dia.
Robert Wilson dianggap sanggup mengemas legenda I LAGALIGO itu menjadi sebuah tontonan kosmopolitan. Kekuatannya, antara lain, terletak pada kemampuan Robert Wilson memainkan pencahayaan dan artistik. Pada pementasan di Benteng Rotterdam Makassar, adegan penciptaan bumi ditingkahi gradasi warna biru seolah membawa penonton pada sebuah keheningan yang subtil.
Pementasan lakon ini memberikan rasa bangga khususnya bagi orang Bugis sebagai pemilik mitologi I La Galigo. ”Kami harus berterima kasih kepada orang-orang yang telah mementaskan legenda Sawerigading ke luar negeri. Mitologi Bugis yang tersisa dalam serpihan-serpihan ingatan itu bisa dikenal dunia,” ujar Asdar Muis, budayawan muda Sulawesi Selatan.
Yayath Pangerang, pekerja budaya asal Luwu, berharap lakon ini terus mengembara di panggung dunia untuk memperkenalkan tradisi Bugis. ”Secara alamiah, Sawerigading memang pengembara. Jadi, biarkan dia (legenda) berkeliling dunia agar dia menjadi mata air kebudayaan. Kemasannya mau dibikin seperti apa dan dipentaskan oleh siapa tidak lagi penting. Yang penting, tradisi Bugis dikenal orang.”
Ikrar Andi Mohammad Saleh, dosen Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar, yang juga generasi ke-4 Arung/ Raja Belo—sebuah kerajaan Palili di Soppeng—mengatakan, pementasan I La Galigo memberikan kebanggaan terutama bagi orang Bugis.
”Ini baru kulitnya, masih jauh dari esensi mitologi I La Galigo yang sangat kaya dan menjadi pijakan nilai hidup bagi orang Bugis. Derivasi (turunan) dari naskah itu sebenarnya sangat kaya, yakni mengatur mulai dari pertanian, lingkungan, sampai hubungan seks suami istri,” ujarnya.
Meski demikian, pementasan ini bisa dijadikan pintu masuk untuk menguak lebih dalam tabir mitologi I La Galigo yang sebagian besar belum diketahui. ”Kita harus terus mendalami I La Galigo agar orang tidak menyangka mitologi ini isinya sebatas kisah cinta Sawerigading seperti lakon yang dipentaskan.”
Gambar : www.detik.com
0 komentar:
Posting Komentar