Selasa, 02 Agustus 2011

Abdul Qahhar Mudzakkar Sang Patriot Pejuang Islam (Bag-3)



 

Setelah Mosi Integral M. Natsir

Akibat persetujuan KMB, tentang penyerahan kedaulatan maka bentuk negara Indonesia tidak lagi merupakan negara kesatuan sebagaimana yang dicita-citakan bangsa Indonesia, tetapi berbentuk federal yang kita kenal dengan nama Republik Indonesia Serikat (R.I.S).
Setelah kedaulatan oleh Belanda diserahkan, R.I.S yang belum mencapai umur satu tahun, telah banyak disibukan dengan berbagai persoalan; antara lain : serdadu-serdadu Belanda masih juga belum ditarik mundur dari Indonesia, dibeberapa daerah terjadi pergolakan dengan berbagai alasan dan sebab, dipusat terjadi kegoncangan kabinet, pecahnya dwi tunggal Soekarno-Hatta, masuknya PKI dalam kabinet dan lembaga-lembaga lainnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia” Abdul Qahhar Mudzakkar menyatakan ” karena Undang-undang Dasar 1945 tidak memiliki dasar negara yang kuat, yang dapat mempersatukan golongan suku bangsa Indonesia yang banyak, dengan agama dan kebudayaannya sendiri-sendiri, maka proklamasi 17 Agustus 1945 itu turut menjadi “catur persaingan ideologi” dari masing-masing golongan.
Untuk mencegah dan mengatasi timbulnya suatu keadaan yang tidak diharapkan, pada tanggal 3 April 1950 Moh. Natsir yang pada masa itu sebagai Ketua Umum Masyumi dalam sidang parlemen R.I.S secara gigih mengajukan mosi integral, yang dikenal dengan “Mosi Integral Natsir“.
Dalam mosi integral Natsir itu : mengajurkan kepada pemerintah supaya mengambil inisiatif penyelesaian soal-soal yang hangat sebagai akibat perkembangan politik dengan cara integral dan program tertentu. (Pidato Mosi Integral Natsir bisa dilihat disini)
Kalau kita baca, naskah Mosi Integral Natsir tersebut sebenarnya sama sekali tidak memuat ajakan untuk kembali ke negara kesatuan. Bahkan, dalam pidatonya Natsir berkali-kali menegaskan bahwa mosinya tidak berhubungan dengan kontroversi tentang negara kesatuan dan negara federal. Natsir menegaskan bahwa pihaknya “menjauhkan diri dari pembicaraan soal unitarisme dan federalisme.” Sebenarnya yang diperjuangkan Natsir melalui mosinya itu adalah “persatuan bangsa,” bukan “negara kesatuan.” Persatuan (integration) menyangkut sikap (kejiwaan) setiap warga negara untuk merasa terikat dalam satu ikatan sebagai satu bangsa, sedangkan negara kesatuan (unitarisme) adalah konsep struktur ketatanegaraan yang biasanya dibedakan dengan negara serikat (federalisme).
Sebagai kelanjutan “mosi integral”, diadakan perundingan antara delegasi R.I.S yang dipimpin oleh Prof. Soepomo dengan delegasi R.I yang dipimpin oleh Abdul Hakim dengan kesepakatan : ” Menyetujui dalam waktu sesingkatnya bersama-sama melaksanakan Negara kesatuan, sebagai jelmaan daripada Republik Indonesia, berdasar Proklamasi 17 Agustus 1945″.
Pada tanggal 15 Agustus 1950 diadakan rapat gabungan DPR dan Senat RIS menetapkan berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan menandatangani piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan pada tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia secara resmi terbentuk kembali sebagai Negara Kesatuan RI.
Sementara itu di Sulawesi Selatan, sejak penyerahan kedaulatan dari Belanda (pasca KMB), terjadi pergolakan antara KGSS (Kesatuan Gerilyawan Sulawesi Selatan) dengan APRI/S yang didominasi oleh eks serdadu KNIL. Bulan Februari 1950 Staf APRIS yang terdiri dari Kolonel Simatupang, Kolonel A.H. Nasution, dan Kolonel Hidayat menolak mengakui 5 batalyon teritorial Hasanuddin, dimana anggotanya terdiri dari bekas gerilyawan patriot pejuang dari : Bali, kepulauan Nusatenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang pada masa revolusi dibawah KGS/Komando Gurp Seberang yang dipimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar.
Pada saat pemerintah belum memberikan jawaban atas permintaan KGSS untuk diakui sebagai anggota TNI; pada tanggal 30 Maret 1950 A.H Nasution sebagai penguasa MBAD telah menerima dan meresmikan bekas batalyon KNIL di Makassar dibawah pimpinan kapten Andi Azis menjadi bagian APRI/S.
Pada tanggal 5 April 1950, dengan alasan untuk mempertahankan kekuasaan negara boneka Belanda Negara Indonesia Timur N.I.T, komando Andi Azis yang baru diterima menjadi APRI/S melakukan pemberontakan. Dengan alasan itu Nasution mengirim ekspedisi pasukan ke Sulawesi dimana anggota ekspedisinya terdiri dari tentara komunis Jawa ( yang terlibat pemberontakan Madiun 48).
Pasukan ekspedisi yang tergabung dalam batalyon Worang ini, tidak dapat mendarat di Sulawesi, karena mendapat ancaman dari bekas serdadu KNIL yang baru bergabung dalam APRI/S. Justru pemberontakan Andi Azis berhasil dilumpuhkan oleh anggota-anggota KGSS yang sejak awal sudah berada di Sulawesi dan menjaga keamanan rakyat Sulawesi dengan semangat dan disiplin yang tinggi.
Pada tanggal 1 Juli 1950 telah terjadi perdebatan sengit antara Kawilarang (Komandan TT-VII) dengan Abdul Qahhar sebagai Staf MBAD dalam penyelesaian masalah dengan anggota KGSS. Perdebatan itu berujung dengan sikap dan tindakan Abdul Qahhar yang mencabut sendiri tanda pangkat Letnan Kolonel TNI-nya dihadapan Kawilarang sebagai wujud pembelaan kepada KGSS, setelah Kawilarang dengan sewenang-wenang mengeluarkan keputusan untuk melucuti dan membubarkan KGSS. Dan selanjutnya sejak tanggal 2 Juli 1950 Abdul Qahhar Mudzakkar menghilang dan menggabungkan diri dengan teman-teman seperjuangannya dalam organisasi KGSS.
Mengenai peristiwa ini dalam buku Al-Chaidar ” Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia”, dituliskan :
Usul KGSS itu ditolak oleh Kawilarang dalam suatu pertemuan dengan Abdul Qahhar Mudzakkar pada tanggal 1 Juli 1950. Kemudian Kawilarang mengeluarkan pengumuman untuk membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan, dan pada hari yang sama melarang semua kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan organisasi gerilya baru, menurut Kawilarang, karena masa integrasi pejuang ke dalam Tentara telah berakhir. Pada Agustus Kawilarang menyatakan, 70% pejuang telah memasuki Tentara, dan hanya 30% yang menolak melakukan demikian, kemudian dia memperingatkan terhadap yang belakangan ini Tentara akan bertindak.
Ketika mendengar reaksi Kawilarang atas usul-usul yang dibawanya, Kahar Muzakkar menyatakan mengundurkan diri dari Tentara dan menyerahkan lencananya kepada panglima. Beberapa hari kemudian dia masuk hutan. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, dia diculik KGSS, atas prakarsa Andi Sose, walaupun mungkin sekali Andi Sose bertindak demikian berdasarkan perintah, atau setidak-tidaknya dengan persetujuan Abdul Qahhar Mudzakkar diam-diam.
Abdul Qahhar Mudzakkar mengintruksikan para pejuang lain untuk mengabaikan larangan yang dikeluarkan oleh Kawilarang tentang KGSS. Oleh karena itu KGSS terus berfungsi walaupun sekarang sebagai organisasi ilegal. Seluruh keadaan menjadi lebih ironis, beberapa bulan ketegangan berkelanjutan dengan pertempuran-pertempuran antara pasukan TNI dengan pasukan Abdul Qahhar Mudzakkar.
Pada tanggal 18 Agustus 1950 (setelah R.I.S menjadi NKRI), dua puluh dua organisasi yang terdiri dari partai politik dan organisasi masa di Sulawesi Selatan menyampaikan suatu resolusi kepada pemerintahan untuk tidak menggunakan kekerasan didalam mencari jalan penyelesaian dengan patriot pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam KGSS dibawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Tetapi komandan-komandan TT-VII beserta stafnya yang berasal dari Menado, selalu berusaha menggagalkan setiap usaha menyelesaikan masalah tuntunan KGSS, sehingga ini menunjukan perwira TNI bekas KNIL menutup kesempatan untuk melakukan perundingan.
Moh Natsir (yang sejak bulan September 1950 sebagai perdana menteri pertama dari NKRI) pada tanggal 10 Oktober 1950, ia membentuk panitia antar departemen yang ditugaskan untuk menyelesaikan masalah gerilyawan di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Mr. Ma’moen Soemadipradja. Hasil perundingan antara Mr. Ma’moen dengan pihak gerilyawan disepakati bahwa semua gerilyawan akan diterima menjadi Korps Cadangan Nasional (CTN). Pada tanggal 13 November 1950 Kabinet Natsir mengeluarkan keputusan pemerintah bahwa para gerilyawan Sulawesi diterima sebagai anggota TNI.

Korps Cadangan Tentara (CTN)

Pada tanggal 25 Maret 1951, akhirnya tibalah hari yang lama dinanti-nantikan:  pembentukan resmi Persiapan Brigade Hasanuddin sebagai bagian dari Korps Cadangan Nasional Tentara Republik. Pada hari ini juga Abdul Qahhar Mudzakkar meninggalkan tempat persembunyiannya. Suatu upacara khusus untuk menyambutnya diadakan di Maros: sebanyak lima sampai enam ribu orang telah berkumpul untuk menyaksikan dia bersama prajurit-prajuritnya memasuki kota pukul tujuh malam hari. Salawati Daud dan Abdul Qahhar Mudzakkar  sendiri yang bicara kepada pasukan.
Abdul Qahhar Mudzakkar dalam pidatonya, yang berlangsung kira-kira setengah jam, secara panjang lebar membicarakan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya bahwa ia terlalu ambisius, ia masuk hutan semata-mata untuk melanjutkan tujuannya, dan ia sengaja melarut-larutkan perundingan agar terjamin pengukuhan pangkatnya sebagai letnan kolonel. Walaupun banyak orang yang percaya, dia dan Saleh Sjahban “haus pangkat dan kedudukan”, disangkalnya tuduhan-tuduhan ini dengan mengemukakan, walaupun kenyataan membuktikan ia memiliki “kursi-kursi besar, meja-meja besar, dan telah menghadapi orang-orang penting “di masa lampau, semuanya ini bukanlah satu-satunya tujuan hidupnya. Saya dicurigai sangat mendambakan pangkat letnan kolonel, tetapi pangkat letnan kolonel ini yang didesakkan kepada saya”, ditegaskannya, sambil menambahkan, bila ada orang yang menginginkan mengambil alih pimpinan Brigade Hasanuddin, mereka dipersilakan maju ke depan dan melakukan keinginan itu; hanya saja dia tidak sudi menyerahkan tugas ini kepada mereka yang telah membakari rumah-rumah rakyat yang tidak berdosa.
Namun amat disayangkan adanya pembentukan Korps Cadangan Nasional pada bulan Maret sama sekali tidak berarti, pejuang-pejuang muslim Abdul Qahhar Mudzakkar telah menjadi prajurit biasa dari Tentara Republik. Penggabungan resminya direncanakan pada bulan Agustus. Tetapi antara Maret dan Agustus 1951 terjadi serangkaian insiden yang mengakibatkan perpecahan baru lagi antara Tentara dan Abdul Qahhar Mudzakkar. Pertentangan baru ini pada akhirnya menuju keretakan terbuka dan tak terdamaikan.
Dalam minggu-minggu sebelum hari yang telah ditetapkan untuk integrasi resmi Korps Cadangan Nasional, pertentangan intern yang pertama di kalangan pengikut-pengikut Abdul Qahhar Mudzakkar terjadi ketika Andi Selle memihak Pemerintah dalam persoalan apakah integrasi Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan akan dilakukan batalyon demi batalyon atau tidak.
Penggabungan Batalyon Bau Masseppe Andi Selle ke dalam Tentara sebagai Batalyon 719 pada 7 Agustus 1951 hanyalah memperbesar pertentangan antara Abdul Qahhar Mudzakkar dan Tentara, selanjutnya. Namun tidak seluruh Batalyon Bau Masseppe mengikuti komandannya, melainkan sebagian dari padanya dengan Hamid Gali dan Usman Balo sebagai pemimpin-pemimpin utamanya dan tetap setia kepada Abdul Qahhar Mudzakkar.
Setelah terjadi sedikit pertempuran dengan para pengikut Andi Selle mereka mengundurkan diri ke bagian lain Pare-pare dan membentuk batalyon baru, yang dipimpin Hamid Gali. Tidak pula hubungan-hubungan antara Kahar Muzakkar dan Andi Selle putus sama sekali, dan pada waktunya hubungan antara keduanya membaik lagi. Bahar Mattaliu menyebut Andi Selle sebagai salah satu sumber pokok senjata Abdul Qahhar Mudzakkar, dan benar-benar dikatakannya: “Ini berarti, bahan-bahan mentah terus dikirimkan Kahar kepada Andi Selle yang membayarya dengan pelor, senjata berat dan ringan, dan dengan pakaian seragam tentara”.
Dalam menghadapi perjuangan Abdul Qahhar Mudzakkar, Tentara Republik berusaha menghadapinya dengan melakukan serangkaian operasi militer. Terutama sekali pada tahun-tahun mula kerusuhan dengan mengajak kesatuan-kesatuan pejuang yang merasa tidak puas dengan Abdul Qahhar Mudzakkar untuk menyerah. Dan mengenai hal yang akhir ini, Tentara Republik mengambil sedikit keuntungan dari adanya perselisihan antar pejuang sendiri. Pertikaian ini bisa muncul karena sebagian ambisi dan dendam pribadi, sebagian lagi karena perbedaan ideologi mengenai jalan yang harus ditempuh dalam perlawanannya terhadap Pemerintah Republik.
Bertepatan waktunya dengan ketika Pemerintah menganjurkan penyelesaian “politik psikologis”, Abdul Qahhar Mudzakkar memperkuat posisinya. Dalam masa inilah dilakukan pembaharuan hubungan antara dia dan Kartosoewirjo. Hubungan pertama antara mereka telah dilakukan Agustus tahun sebelumnya, ketika Abdul Qahhar Mudzakkar masuk hutan. Pada waktu itu Abdul Qahhar Mudzakkar didesak melalui perantaraan Bukhari, ketika itu wakil ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Abdullah Riau Soshby, salah seorang tampuk pimpinan Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat, untuk membentuk “Komandemen TII” untuk Sulawesi. Kartosoewirjo secara pribadi mengirimkan sepucuk surat kepada Abdul Qahhar Mudzakkar yang menawarkan kepadanya pimpinan Tentara Islam Indonesia di Sulawesi beberapa bulan kemudian.
Secara resmi tawaran ini diterima Abdul Qahhar Mudzakkar pada 20 Januari 1952. Demikianlah ia menjadi panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia, yang juga disebut Divisi Hasanuddin. Syamsul Bachri diangkat menjadi Gubernur Militer Sulawesi Selatan. Dalam sepucuk surat tanggal yang tersebut di atas yang ditulis Abdul Qahhar Mudzakkar dalam menerima pengangkatannya, dinyatakan bahwa ia sendiri merasa berterima kasih dan menjunjung tinggi kepercayaan yang diperlihatkan Kartosoewirjo kepadanya dengan keputusan mengangkatnya menjadi panglima Tentara Islam Indonesia untuk Sulawesi.
Bersamaan dengan itu dinyatakannya, tak dapat sepenuhnya ia mengabdikan diri, karena berbagai keadaan yang mungkin merintanginya dalam setiap tindakan yang diambilnya sebagai panglima Tentara Islam. Selanjutnya dikemukakannya, dari lima batalyon yang dipimpinnya beberapa di antaranya meliputi kelompok bukan Muslim yang dipengaruhi ide-ide Komunis. Dilanjutkannya dengan menyatakan, dia ingin memulai suatu revolusi Islam sejak 16 Agustus 1951, dan segala sesuatunya telah direncanakan bersama komandan-komandan bawahan Saleh Sjahban dan Abdul Fatah, tetapi yang belakangan ini ternyata tidak teguh pendiriannya sehingga rencana itu gagal. Dia dirintangi, katanya, oleh kekuatan yang lebih perkasa dengan pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat, yaitu “kaum feodalis dan rakyat banyak”. Mengenai penduduk Islam di Sulawesi Selatan menurut pendapatnya “diperlukan waktu untuk menanamkan dan memupuk semangat Islam yang sejati dalam diri mereka”. Dalam sebuah surat jawaban pada 27 Februari, Kartosoewirjo mendesak Abdul Qahhar Mudzakkar melakukan segala upaya untuk menjadikan rakyat “bersemangat Islam” dan “bersemangat Negara Islam”, serta melanjutkan melakukan apa saja yang dianjurkan syariat Islam di masa perang.
Walaupun ada pengangkatannya sebagai panglima daerah Tentara Islam Indonesia Abdul Qahhar Mudzakkar untuk sementara tidak mau menggunakan nama ini bagi pasukan-pasukannya. Pada bulan Maret 1952 sesungguhnya pasukannya diberinya nama Tentara Kemerdekaan Rakyat (TKR). Baru pada 7 Agustus 1953, tepat empat tahun sesudah proklamasi Negara Islam Kartosoewirjo, Abdul Qahhar Mudzakkar mempermaklumkan bahwa daerah Sulawesi dan daerah-daerah sekitarnya (yaitu Indonesia Timur lainnya, termasuk Irian Barat) menyatakan bagian dari Negara Islam Indonesia. Bersamaan dengan ini ia menamakan pasukannya Tentara Islam Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

My Picture Slideshow: Hasrum’s trip from Jakarta, Java, Indonesia to Makassar was created by TripAdvisor. See another Makassar slideshow. Create a free slideshow with music from your travel photos.

Blogger Advertisement