Abdul Qahhar Mudzakkar lahir pada tanggal 24 Maret 1921 di Desa Lanipa – Distrik Ponrang, kabupaten Luwu yang terletak di pantai barat Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Beliau adalah seorang keturunan Bugis Luwu, dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga belas orang bersaudara dan juga sebagai anak laki-laki pertama dari pasangan Malinrang dengan Hajjah Kessa.
Setelah tamat sekolah dasar pada tahun 1934 di Lanipa, Abdul Qahhar melanjutkan ke Standaard School Muhammadiyah di Palopo selama 4 tahun. Sebagai anak laki-laki pertama dari keluarga cukup mampu, Abdul Qahhar oleh orang tuanya pada tahun 1937 dikirim ke Solo – Jawa Tengah, untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Mu’allimin Muhammadiyah.
Menurut cerita dari teman-teman dan juga orang terdekatnya, disamping cerdas, pemberani dan memiliki sifat-sifat yang unik, sejak masa kecil di sekolah dan di luar sekolah, Abdul Qahhar sudah tampil bakat-bakat kepemimpinannya.
Dalam buku karangannya : BENTUK NEGARA KHILAFAH DALAM ISLAM pada halaman 113, Abdul Qahhar Mudzakkar menguraikan arti namanya :
Abdul artinya : hamba, budak — Qahhar artinya : Tuhan Yang Maha Gagah Perkasa — Mudzakkar artinya jantan, bersifat jantan. Jadi Abdul Qahhar Mudzakkar, berarti Hamba Allah yang bersifat jantan.
Menjelang usia 18 tahun Abdul Qahhar Mudzakkar menikah dengan Siti Walinah Harjo Sudiro binti Abdulla, “puteri solo” berusia dua tahun lebih muda dari padanya dan sangat dicintai. Dari hasil perkawinan pasangan Abdul Qahhar dengan Siti Walinah, mereka dikaruniai oleh Nya enam orang putera dan puteri.
Kemudian untuk memperkenalkan keluarganya kepada kedua orang tua dan keluarga besar di Sulawesi, ia bersama istri, anak dan ibu mertuanya kembali ke Sulawesi dan beberapa saat berada di Palopo. Disamping menjalankan tugas sebagai seorang guru oleh kawan-kawannya Abdul Qahhar dipercaya untuk memimpin organisasi pandu Muhammadiyah yang bernama Hisbul Wathan. Ia menekuni fungsi itu sampai Jepang mendarat pada tahun 1942.
Tatkala pendudukan Jepang. Abdul Qahhar bersama Yusuf Samma berkesempatan bekerja pada Nippon Dohobu di Makasar. Akan tetapi karena “iri hati” atu “kecemburuan” dari pihak-pihak tertentu di dalam pekerjaan ini ia mendapat banyak rintangan. Pada awalnya ia dituduh mencuri emas milik Jepang, akan tetapi setelah melalui pemeriksaan dan penyiksaan yang berat yang dilakukan Jepang ternyata tuduhan itu tidak dapat terbukti. Maka untuk menutupi rasa malu kalangan bangsawan, akhirnya tuduhan berubah dengan dituduh mengadakan permusuhan dengan bangsawan maka Abdul Qahhar dikenakan hukuman adat yang dinamakan ri paopangi tana, yaitu berarti hukuman seumur hidup tidak boleh menginjak Luwu.
Pada bulan Mei 1943 Abdul Qahhar bersama istri dan anak-anaknya berangkat ke Jawa dan tinggal kembali di Solo dan membuka usaha dagang bersama teman-teman yang kebanyakan dari Palopo sebuah perusahaan dengan nama “Usaha Semangat Muda”. Berkat keuletannya serta didampingi istri yang cerdik dan penuh semangat, usaha ini berjalan dengan baik.
Tetapi sebagaimana juga yang direncanakan sejak awal kembali dari Sulawesi yaitu untuk meningkatkan perjuangan melawan penjajahan dan juga untuk memperluas usaha dagangnya, Abdul Qahhar bersama keluarga kemudian berangkat ke Jakarta dan Jawa Barat. Di Bandung dan Batavia ia bergabung dengan Haji Idrus membuka usaha pembakaran kapur.
Di Jakarta Abdul Qahhar berhasil mendirikan “Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS)”, akan tetapi ada juga pemuda Sulawesi lainnya yang mendirikan organisasi Angkatan Pemuda Sulawesi (APIS), maka akhirnya kedua organisasi tersebut dilebur menjadi organisasi Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), yang dilengkapi dengan laskar. Abdul Qahhar diangkat menjadi Sekretaris Umum KRIS dan Komandan Laskar KRIS.
Pada waktu sebagai komandan laskar, Abdul Qahhar banyak bergaul bersama pemuda-pemuda, komandan/anggota laskar pejuang dan tokoh politik lainnya. Dalam buku “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia” halaman 7 diceritakan tentang keterlibatan Abdul Qahhar dalam peristiwa Lapangan Ikada 19 September 1945. Di halaman itu tertulis :
“Di Lapangan Ikada Jakarta, pada tanggal 19 September 1945 pada waktu Bung Karno dan Bung Hatta didesak oleh rakyat untuk berpidato, sekian puluh ribu rakyat penduduk Jakarta dan Barisan Pemuda yang ada di Lapangan Ikada pada waktu itu, tidak seorangpun yang sanggup berdiri di muka mobil Bung Karno untuk melepasakan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bayonet tentara Jepang, kecuali Abdul Qahhar Mudzakkar seorang diri dengan sebilah golok di tangan dengan tekad dan nekat mengundurkan tentara Jepang yang sudah penuh membajiri mobil Bung Karno dan Bung Hatta dengan bayonet terhunus”.
Pada masa revolusi fisik, untuk lebih dekat dengan kesatuan pertahanan, Abdul Qahhar kemudian pindah dari Jakarta ke Yogyakarta dimana Markas Besar Tentara berada, yaitu dibawah pimpinan langsung Panglima Besar Jenderal Soedirman. Di kota Yogyakarta tersebut Abdul Qahhar kemudian mendirikan BKI (Batalyon Kesatuan Indonesia) dan ia terpilih sebagai komandannya dengan pangkat pertamnya Mayor. Dalam menjalankan tugas ini, ia didampingi oleh wakil komandannya yaitu Mayor Abu Bakar, seorang bekas PETA.
Pada tanggal 24 Maret 1946 Panglima Besar Jenderal Soedirman memberi perintah dan surat mandat kepada Letnan Kolonel Abdul Qahhar Mudzakkar untuk membentuk devisi Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi. Langkah pertama dalam melaksanakan tugas tersebut, Abdul Qahhar menyusun basis induk kesatuan dan markas staf operasionalnya yang terletak di jalan Trimargono-Yogyakarta. Letnan Kolonel Abdul Qahhar Mudzakkar sebagai komandannya, kapten Andi Mattalata menjadi kepala staf, kapten Usman Jafat staf I, kapten Saleh Lahade staf II, Dungga Staf III dan kapten Abdul Gani staf IV. Satuan resimennya diberi nama Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) – Resimen Hasanuddin.
Untuk membantu para pejuang di wilayah Indonesia Timur yang sedang mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Letnan Kolonel Abdul Qahhar sebagai komandan TRIPS merangkap sebagai komandan KGS (Kesatuan Grup Seberang), pada tahun 1946 awal mengirimkan ekspedisi tenaga pejung dari Jawa ke Sulawesi dan juga ke daerah-daerah Indonesia Timur lainnya. Sehingga di Sulawesi pada tahun 1947 sudah terorganisir empat batalyon pejuang yang dipimpin oleh Kaso Abdul Gani, Andi Selle, Andi Sose dan Arief Rate. Di awal tahun 1948 metode pengiriman tidak lagi berombongan tetapi dilakukan perorangan, berdua atau dalam kelompok kecil.
Sesudah Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Republik Indonesia Serikat hasil dari KMB 27 Desember 1949, sebagaimana halnya dengan pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Soekarno yang sibuk menertibkan struktur pemerintannya, demikian juga yang terjadi diwadah tentara nasional dipimpin KASAD I, yang mengkoordinir kegiatannya di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) selalu mengadakam reorganisasi dan rasionalisasi anggota-anggotanya.
Atas tuntutan anggota-anggota dari Kesatuan Gerilyawan Sulawesi Selatan (KGSS), Letkol Abdul Qahhar mengusulkan kepada pemerintah agar laskar pejuang kemerdekaan Sulawesi menjadi Brigade Hasanuddin. Tetapi karena pemerintah dipengaruhi dan ditekan oleh pihak tertentu yang telah dikuasai dan didominasi oleh bekas KNIL, usulan tersebut tidak diperhatikan bahkan tidak dilayani dengan baik.
Pada tanggal 30 Maret 1950, bekas serdadu-serdadu penjajah Belanda (KNIL) Sulawesi di bawah pimpinan kapten Andi Azis diterima secara resmi sebagai Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Ketika pada tanggal 5 April 1950 di Makasar – Sulawesi Selatan, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para bekas serdadu KNIL di bawah pimpinan A. Azis yang baru beberapa hari diresmikan sebagai APRIS. Maka dengan alasan pemebrontakan tersebut komandan tertinggi tentara/MBAD menempuh jalan dan cara untuk mengirim ekspedisi pasukannya dari Jawa ke Sulawesi. Mereka yang dikirim itu sebagian besar terdiri dari tentara-tentara yang terlibat dalam pemberontakan di Madiun.
Setelah pemberontakan A.Azis yang berlangsung tidak lama dapat diselesaikan, selanjutnya komandan tentara bekas KNIL menyia-nyiakan bahkan memusuhi patriot pejuang kemerdekaan Sulawesi yang tergabung dalam kesatuan KGSS.
Dominasi bekas KNIL di tubuh tentara nasional MBAD pasca wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman telah menggeser peran Letkol Abdul Qahhar Mudzakkar di Sulawesi khususnya, umumnya di Indonesia Timur dimana beliau sebagai Koordinator Kesatuan Gerilyawan Seberang (KGS) yang meliputi Kalimantan, Bali, Kepulauan Nusatenggara, Sulawesi dan Kepulauan Maluku.
0 komentar:
Posting Komentar