19 Agustus 2008 oleh Ar Razi
RATUSAN orang Indonesia “berkumpul” di Esplanade, pusat teater di pantai Singapura, Jumat dan Sabtu minggu lalu (12 dan 13 Maret). Tujuan mereka sama: menonton “I La Galigo”, sebuah teater karya Robert Wilson - nama besar dalam teater kontemporer dunia, dengan seluruh pemain dan musisi dari Indonesia.
Sureq Galigo adalah sebuah karya sastra dalam bahasa dan aksara Bugis (berbentuk syair dalam aksara lontaraq) sepanjang 6.000 halaman, yang sudah hampir dilupakan orang. Padahal, dari sudut panjangnya cerita - lebih panjang daripada Mahabarata, Ramayana, maupun Odyssey - Sureq Galigo sudah diakui sebagai naskah terpanjang di dunia. Naskahnya diduga sudah berusia lebih dari seabad, mulanya ditulis di atas lontar, berdasarkan penuturan yang terjadi secara turun-temurun selama ratusan tahun sebelumnya - diduga sejak abad ke-14.
Begitu terperincinya cerita di dalamnya, sehingga Sureq Galigo tidak hanya merupakan mitologi tentang orang Bugis, tetapi sekaligus panduan etiket sehari-hari, pedoman untuk tingkah laku luhur, tatacara adat, berbagai tata upacara, bahkan juga semacam manual arsitektur untuk membangun rumah adat Bugis. Lebih jauh lagi, suratan itu menyampaikan pandangan kritis tentang polah negatif manusia. Tafsirannya ke dalam bahasa masa kini memerlukan 12.000 halaman naskah.
Selama dua malam, teater utama (centre stage) Esplanade yang berkapasitas 1.800 tempat duduk padat oleh pengunjung. Semua karcis terjual habis sejak dua hari sebelum pertunjukan dimulai. Karcis termahal seharga Sin$100 (sekitar Rp 500 ribu) bahkan sudah habis seminggu sebelumnya. Tak heran bila karcis termurah seharga Sin$11 - yang membuat penonton di balkon tingkat empat harus menjulurkan kepala agar bisa melihat dengan jelas - pun disapu habis oleh kaum elite yang terlambat membeli karcis.
Siapa bilang Indonesia negeri merana? Di tengah berbagai krisis yang menerpa bangsa kita, ternyata budaya Indonesia masih mampu merebut hati dunia. Padahal, kebudayaan tak pernah memperoleh prioritas yang layak dalam diplomasi publik maupun anggaran belanja negara kita.
Cerita Rekaan
Lakon “I La Galigo” yang disutradarai Robert Wilson itu menggunakan cerita rekaan. Artinya, cerita yang dipentaskan itu tidak murni mengikuti naskah asliSureq Galigo.
Rekaan atau adaptasi cerita dan penggarapan dramaturginya dilakukan Rhoda Grauer, sineas AS yang “menemukan” kawruh tentang Sureq Galigo ketika sedang membuat film tentang perahu phinisi pada 1995. Rhoda terkesima dengan kekayaan naskah itu. Karena merasa tak mampu membaca seluruh 12.000 halaman naskah, ia pun minta bantuan Drs Mohammad Salim, peneliti yang berfokus pada naskah Sureq Galigo. Dari penuturan Salim itulah Rhoda kemudian membuat cerita rekaan yang diinspirasi oleh Sureq Galigo.
Pentas yang makan waktu tiga jam tanpa jeda (aslinya bahkan empat jam!) itu terbagi atas 10 babak ditambah prolog dan epilog. Prolog yang sepanjang 20 menit terasa lamban, tetapi sungguh berhasil mempersiapkan batin para penonton untuk memasuki alam ke-bugis-an yang akan disuguhkan.
Orang-orang berjalan perlahan melintasi panggung, menggambarkan suasana kehidupan sehari-hari, ditingkah musik garapan Rahayu Supanggah, yang nyata berhasil membangun suasana dan merekat elemen-elemen folklorik Bugis. Setelah alam manusia, ditampilkan pula alam flora dan fauna dengan dukungan tata cahaya minimalis yang dahsyat.
Dalam kosmologi Sureq Galigo, alam semesta ini terbagi atas tiga bagian: alam atas, alam bawah, dan alam tengah. Alam atas dan alam bawah merupakandomain para dewa. Sedangkan alam tengah adalah domain para raja dan kawulanya. Pada babak pertama digambarkan kesepakatan penguasa alam atas dan alam bawah untuk mengirimkan anak masing-masing guna mengisi kehidupan di alam tengah.
Patotoqe, kepala dewa alam atas, mengutus putranya, Batara Guru turun ke alam tengah. Robert Wilson menggambarkannya dengan tafsiran simplistis yang mencengangkan. Dengan kostum warna merah menyala, Batara Guru turun dari langit dengan kepala di bawah dan kaki di atas melalui tangga. Sementara itu, Guru ri Selleq, penguasa alam bawah, mengirim putrinya, We Nyiliq Timoq untuk naik ke alam tengah.
Batara Guru kemudian menikah dengan We Nyiliq Timoq. Timoq segera mengandung janin kembar: Sawerigading dan We Tenriabeng. (Catatan: Dalam nomenklatur Bugis, La di depan nama menunjukkan gender laki-laki, dan We menunjukkan gender perempuan. Nama berikutnya bisa dipakai untuk kedua jenis kelamin. Tidak heran bila mantan Menteri BUMN yang laki-laki memakai nama Tanri Abeng - mirip dengan We Tenriabeng, perempuan tokoh utama dalam epik ini).
Di dalam kandungan, kedua janin itu bercakap-cakap satu sama lain. Mereka sebenarnya tidak ingin dilahirkan, supaya bisa terus bersama-sama di dalam rahim. Di luar kandungan, para bissu (pemuka spiritual) meramal bahwa Sawerigading akan menjadi raja di alam tengah, sedangkan We Tenriabeng akan menjadi pendeta utama di alam atas. Mereka juga meramal Sawerigading akan jatuh cinta pada saudara kembarnya, dan inses (perkawinan sedarah) akan menghancurkan kerajaan.
Karena itu, setelah dilahirkan, We Tenriabeng disembunyikan di keputren rahasia. Ketika Sawerigading telah dewasa, Batara Guru mengirimnya menjelajah negeri-negeri jauh dengan kapal agar ia tak bertemu adik kembarnya yang dipingit. Tetapi, karena pelayaran itu mencapai Pulau Kematian, Sawerigading menyudahi ekspedisinya dan kembali ke keraton. Ketika itulah ia bertemu dengan gadis cantik tiada tara yang ternyata adalah adik kembarnya sendiri.
Permohonan Sawerigading untuk menikahi adiknya tentulah ditolak mentah-mentah oleh Batara Guru. Akhirnya, dengan kekuatan spiritualnya, We Tenriabeng yang mampu melihat ke masa depan menyuruh Sawerigading berlayar ke Negeri Cina, karena di sanalah jodohnya menunggu. Dengan berat hati Sawerigading mengikuti permintaan itu. Kapalnya dibuat dari batang pohon Welenrennge, sebuah pohon mistis yang ada gambarnya dalam naskah asliSureq Galigo.
Bingkai Teknologi
Tontonan panjang itu menjadi mudah dipahami penonton karena narasi tidak hanya dilantunkan oleh seorang bissu yang selama tiga jam terus berada di sudut depan panggung sebagaimana laiknya seorang dalang, melainkan juga ditampilkan dalam tulisan berbahasa Inggris yang diproyeksikan ke layar hitam. Hal itu sangat memudahkan penonton memahami langsung episode yang sedang dihadirkan.
Di Negeri Cina, Sawerigading bertemu dengan We Cudaiq, putri raja, yang kecantikannya bahkan melebihi We Tenriabeng. Tetapi, karena kesalahpahaman, We Cudaiq menampik cinta Sawerigading. Padahal, ia sudah telanjur mengandung. Jabang bayi itulah yang terlahir sebagai I La Galigo. We Cudaiq mencampakkan bayi itu, yang kemudian dipelihara oleh Sawerigading.
We Cudaiq menyesali perbuatannya ketika dalam sebuah acara sabung ayam di istana, ia melihat seorang remaja tampan dan gagah disertai ayahnya yang juga tampan dan gagah. We Cudaiq kemudian meminta Sawerigading dan I La Galigo kembali ke istana.
Tetapi, itu bukanlah happy end dari kisah ini. Pada epilog, I La Galigo berkisah, Sawerigading yang tak mampu menanggung rindunya pada We Tenriabeng kemudian melanggar sumpahnya dan kembali ke Keraton Luwuq. Tetapi, sumpah mereka ternyata dikabulkan, yaitu agar anak perempuan Sawerigading harus menikah dengan anak laki-laki We Tenriabeng sebagai cara untuk mempersatukan cinta mereka.
Pada saat itulah Patotoqe turun ke alam tengah dengan maklumat bahwa semua keturunan langsung para dewa harus kembali ke alamnya masing-masing. Sawerigading ditunjuk sebagai penguasa alam bawah, sedang We Tenriabeng menjadi penguasa alam atas. Beberapa generasi kemudian, keturunan mereka dinikahkan, sesuai dengan sumpah mereka, dan menjadi penguasa alam tengah. Pintu gerbang menuju ke surgaloka alam atas dan alam bawah digembok. Manusia harus memikirkan nasibnya sendiri, tidak lagi terlalu banyak diintervensi para dewa.
Cerita itu dirajut dalam olah gerak teatrikal yang cerdas, tata cahaya yang memukau, tata artistik prima, diselingi humor segar yang hadir dalam gerak maupun bunyi. Sebuah sajian artistik yang dibingkai dalam kerangka teknologi - dengan pemain yang “tenggelam” dan “muncul” dari bawah panggung, atau dikerek turun dari atas.
Kenapa Tidak di Indonesia?
Judul lakon “I La Galigo” itu sendiri sebenarnya mengundang tanda tanya. I La Galigo adalah tokoh yang dalam ukuran sekarang bisa disebut busuk. Ia gemar berjudi, gemar main perempuan, ringan tangan, dan gemar berfoya-foya. Pokoknya, dugem (dunia gemerlap) adalah ciri utama kehidupan I La Galigo. Ceritanya sendiri lebih banyak menceritakan Sawerigading, ayah I La Galigo.
Agaknya diperlukan kajian lebih mendalam tentang tepat atau tidaknya judul itu. I La Galigo “hanyalah” penutur dari epik Bugis yang telah turun-temurun puluhan generasi. Karena itulah naskah aslinya berjudul Sureq Galigo (tulisan Galigo).
Namun, judul bukanlah ihwal yang dipersoalkan. Banyak pihak yang mempertanyakan, kenapa world premiere “I La Galigo” diselenggarakan di Singapura? Kenapa bukan di Jakarta, atau Makassar?
Pertama, tontonan itu memang merupakan produksi internasional. Dalam brosur tercantum pementasan itu diproduksi oleh Change Performing Arts, bekerja sama dengan Bali Purnati Center for the Arts. Volkswagen Singapura tampil sebagai sponsor utama pementasan di Esplanade, sementara Garuda Indonesia juga tampak kehadirannya sebagai salah satu sponsor. Dengan kata lain, dukungan material dari Indonesia ternyata memang kurang “meriah”. Satu bukti lagi tentang penyepelean karya seni di negeri kita.
Kedua, seperti dikhawatirkan beberapa orang Indonesia yang ditemui di Esplanade, bila world premiere dilakukan di Indonesia, siapa penontonnya dan di mana diselenggarakannya? Membeludaknya penonton di Esplanade mungkin tidak akan terjadi di Jakarta karena minat penonton yang masih rendah. Teater Tanah Airku dan Balai Sarbini juga dianggap kurang memenuhi syarat untuk menampilkan tontonan spektakuler yang memerlukan dukungan teknologi mutakhir ini. Lagi pula, dapatkah tontonan semacam itu bergaung dari Jakarta menggetarkan dunia? Jakarta belum punya cukup wibawa untuk itu.
Tampilnya “I La Galigo” di Singapura dimulai dengan sebuah “presentasi” yang dilakukan Rhoda bersama Restu Kusumaningrum (penata gerak dan koordinasi artis) dan Rahayu Supanggah (penata musik) ketika bertemu dengan Robert Wilson yang sedang berkunjung ke Bali pada akhir 2000. Pertemuan itu dilanjutkan dengan pembicaraan di markas Change Performing Arts (CPA) di dekat New York. Robert setuju menangani produksi itu, tetapi dengan syarat semua pemain dan musisinya dari pihak CPA. Tentu saja gagasan itu ditolak mentah-mentah oleh Rhoda dan Restu. “I La Galigo” tak akan mendapat restu dari leluhur Bugis bila tidak melibatkan orang Bugis.
Robert mengalah dan datang ke Makassar untuk memulai pemilihan casting. Di situlah ia “menemukan” Mak Coppong Daeng Rannu, penari sepuh tari Pakarena, yang menggetarkan hatinya. Mungkin Mak Coppong sekaliber Ibu Rasinah, penari topeng Cirebon, yang punya pesona memancar dari seluruh geraknya. Maka, harus ada peran bagi Mak Coppong dalam “I La Galigo”. Dan hadirlah ia sebagai dewi padi, Sangiang Serri.
Didampingi dengan keahlian Restu, hasil casting akhir menunjukkan adukan antara artis Bugis, Bali, Jawa, Sumatera, dan suku-suku lain dalam pentas ini. I Ketut Rina menjadi Batara Guru. Abdul Murad melakonkan Patotoqe. Kadek Tegeh Okta sebagai Sawerigading. We Tenriabeng dimainkan oleh Jusneni Fachrudin. La Galigo dimainkan oleh M Gentile Andi Lolo. Bissu diperankan olehbissu sungguhan, Puang Matoa Saidi. Di tangan Robert Wilson mereka sekarang telah menjadi artis internasional. Dan bisa!
Rahayu Supanggah juga sepenuhnya menggunakan musisi Indonesia. Di sisi lain, sekalipun kostumnya didesain Joachim Herzog, tetapi bahan berwarna vibran untuk mengaktualisasikan kostum dikerjakan BIN House. Kali ini Obin bersikap low profile, dan menampilkan Yusman Siswandi (kakak ipar) dan Airlangga Komara (anaknya).
Setelah dari Singapura, Mei nanti “I La Galigo” akan tampil di Amsterdam (Belanda), Barcelona (Spanyol), Lyon (Prancis), dan Ravenna (Italia). Rencana penampilan di New York dan Paris pun sedang diusahakan untuk dijadwal tahun depan. Beberapa pihak di Indonesia juga berusaha sekali untuk meminta “I La Galigo” tampil pada September mendatang untuk membuka acara tahunan Art Summit di Jakarta.
Ya, melalui Singapura, bukan Jakarta sayangnya, “I La Galigo” akan menggetarkan dunia.
Posted in:
0 komentar:
Posting Komentar