DI MASA LAMPAU ORANG TORAJA MAMPU MEMPERTAHANKAN DAN MENYELAMATKAN KEBERADAAN ETNIS DAN BUDAYA `SANG TORAYAN'; BAGAIMANA KE DEPAN?
Pengantar:
Identitas setiap komunitas sosial, khususnya komunitas bangsa atau suku-bangsa tidak terbentuk sekali
jadi. Masing-masing mempunyai sejarahnya. Oleh karena itu kesadaran setiap anggota komunitas atas
sejarah komunitasnya mutlak perlu, apabila komunitas bersangkutan ingin tetap mempertahankan dan
memperkembangkan eksistensi jatidiri dasarnya ke depan. Pengenalan atas sejarahnya akan membantu
setiap komunitas sosial yang bersangkutan untuk mempertahankan warisan yang baik dan benar. Sedangkan
kesalahan di masa lampau akan menjadi pelajaran berharga, agar tidak terulang di masa kini dan di masa
depan. Tentu saja tidak terkecualikan dalam hal ini kelompok etnis Toraja. Tulisan singkat ini
dimaksudkan untuk membantu orang Toraja menyadari sejarahnya, dan dengan demikian diharapkan dapat
mengambil langkah tepat dan tidak membuat kesalahan fatal ke depan. Tulisan ini berupaya berada dalam
lingkup ilmiah. Setiap pernyataan dan informasi historis dilengkapi dengan referensi pada sumber terpercaya
I. ABAD XVII-XVIII:
1. Setelah Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa (Makassar) dikalahkan Belanda (V.O.C.) yang dibantu
oleh Arung Palakka dari Bone, dan dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada tahun 1667, maka
Kerajaan Bone dengan cepat menjadi paling berpengaruh dan berkuasa di Sulawesi Selatan (lih. Pol,
1940:127 dsl.). Arung Palakka menjadikan kerajaan-kerajaan sekitar sebagai vassal. Ia mengalahkan
Sidenreng, sebagian dari Mandar, dan Masenrempulu'. Lalu ia mulai mengarahkan perhatian ke Tondok
Lepongan Bulan (lih. Veen, 1940:39). Menurut salah satu catatan hariannya, tahun 1683 pasukannya telah
menduduki beberapa desa di wilayah Ma'kale-Rantepao (dikutip dlm. Veen, 1940:39).
2. Dalam invasi ke Tondok Lepongan Bulan ini Arung Palakka disertai Karaeng ri Gowa, dan didukung oleh
pasukan Sidenreng dan Mandar (Lijf, 1947-48:528). Dalam beberapa manuskrip ditemukan cerita,
bagaimana puang baine dari Sangalla', Indo' Garanta', bersama para tomakaka¬-nya, mendatangi Arung
Palakka dan Karaeng ri Gowa sebagai tanda menyerah. Kepadanya diberi dua pilihan: masuk Islam dan dengan
demikian akan jadi vassal dari Bone, atau tetap berpegang pada adat dan agama nenek moyangnya dan begitu
dijadikan hamba dari Bone dan Gowa. Dan ia memilih yang terakhir: tetap setia pada adat dan agama leluhur!
(dikutip dlm. Lijf, 1947-48:528).
3. Perang To Pada Tindo: Pendudukan pasukan Bone lama-kelamaan menimbulkan perlawanan. Terlebih
setelah pasukan pendudukan menculik tiga putri bangsawan Tallu Lembangna, dan menegaskan bahwa
ketiganya baru akan dibebaskan setelah penduduk bersedia membayar pajak 15 kali lipat. Walau
diberitakan ketiganya akhirnya berhasil dibebaskan seorang to barani dari Madandan, bernama
Karasiak, peristiwa penculikan itu membuat shock di seluruh negeri (lih. Tangdilintin, 1978:136
dsl.). Lahirlah gerakan To Pada Tindo To Misa' Pangimpi untuk membebaskan Tondok Lepongan Bulan, yang
bersemboyankan "Misa kada dipotuo, pantan kada dipomate". Perlawanan To Pada Tindo akhirnya berhasil
mengusir tentara pendudukan. Untuk merayakan kemenangan itu, dilangsungkan bua' di Bamba Puang, yang
disebut "Bua' Kasalle Tondok Lepongan Bulan" (Lih. Tangdilintin, 1978:144 dsl.; Veen, 1940:39 dsl.).
Peristiwa ini menjadi dasar historis solidaritas tradisional orang Toraja ketika mereka menemukan
diri dalam kesulitan (lih. Lijf, 1947-48:528-529).
4. Setiap komunitas adat di Tondok Lepongan Bulan mengambil bagian dalam gerakan To Pada Tindo, kecuali
komunitas adat Karunanga. Itu sebabnya komunitas adat ini selanjutnya dijuluki "To ribang la'bo', to
simpo mataran" (lih. Tangdilintin, 1978:144 dsl.).
5. Tercatat sesudah itu pasukan Bone masih mencoba menginvasi Tondok Lepongan Bulan pada tahun 1702 dan
1705 (Lijf, 1947-48:528). Tetapi akhirnya pada tahun 1710 dicapai sebuah perjanjian perdamaian.
Perjanjian ini dibuat di desa Malua', sehingga disebut Basse Malua' (Tangdilintin, 1978: 161 dan 170
dsl.). Hampir dua abad kemudian perjanjian ini tetap dihormati, ketika pada tahun 1897, atas permintaan
Datu Luwu', pasukan Bone (songko' borrong) di bawah pimpinan Petta Punggawa memasuki Tondok Lepongan
Bulan untuk memerangi pasukan Sidenreng yang dipimpin Ande Guru dalam konflik memperebutkan monopoli
perdagangan kopi antara Luwu (Palopo) dan Sidenreng (Pare-Pare), yang dikenal dengan nama "rarinna
kopi batu". Di setiap tondok yang dilalui pasukannya, Petta Punggawa menekankan tugas melindungi
penduduk dalam misi mereka, dan bahwa kedatangan mereka atas permintaan Luwu; mereka tidak mau merusak
hubungan damai antara Bone dan Tondok Lepongan Bulan yang telah dicapai dua abad berselang. (Lih.
Bigalke, 1981:54-58; Lijf, 1947-48:529-530).
II. ABAD XX:
1. Pemaksaan Agama oleh DI/TII:
Sesungguhnya gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar yang berlangsung sekitar 15 tahun (1950-1965) di
Sulawesi Selatan, semula tidak membawa warna ideologi agama. Gerakan itu semula bernama KGSS (Kesatuan
Gerilya Sulawesi Selatan), yang bertujuan memperjuangkan tempat yang layak dalam era Indonesia
merdeka bagi para pejuang gerilya Sulsel selama perang kemerdekaan. Tetapi kemudian beralih menjadi
gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Dan dengan itu dilanjutkanlah gerakan
islamisasi dengan paksa. Dengan mengutip tulisan berjudul "20.000 Pengungsi Tercatat hingga Akhir
Oktober 1953 di Luwu" dalam edisi Rakyat Berjoang, 5 November 1953: p.2, Bigalke menulis:
"Akibat-akibat Islamisasi…dirasakan di dataran tinggi wilayah Luwu dan di pinggiran timur dan
selatan Tana Toraja sejak awal 1952. Baik orang-orang Kristen maupun pemeluk agama asli menjadi sasaran
serangan para gerilyawan. Terjadi banyak penculikan, pembunuhan, pencurian, dan insiden di mana
desa-desa dibakar. Pemaksaan masuk Islam terjadi di setiap tempat tersebut, di wilayah baratdaya
Toraja sendiri mencapai beberapa ribu orang. Para pengungsi dari bagian utara dan barat Luwu mulai
mengalir ke Toraja di tahun 1952, dan mencapai puncaknya menjelang akhir 1953, mencapai sekitar 20.000
orang di kota Makale dan Rantepao" (Bigalke, 1981:423).
Pada September 1953 Kahar mengeluarkan Piagam Makalua', yang berisi dasar ideologis gerakan DI/TII.
Salah satu poin penting dan kedengarannya baik dalam Piagam tersebut, ialah pernyataan bahwa kebebasan
beragama dijamin tetapi hanya untuk agama Islam dan Kristiani. Tetapi apa yang baik di atas kertas,
ternyata tidak dilakukan dalam praktek. "Dalam kurun waktu enam bulan semua orang, yang sebelumnya
telah diberitahu untuk memilih antara Islam atau Kekristenan, dipaksa menyatakan diri masuk Islam"
(Bigalke, 1981:424). "Untuk mencapai tujuannya, yaitu mengislamkan orang-orang Kristen, maka mereka
(para gerilyawan DI/TII) memisahkan tokoh-tokoh Kristen dengan anggota-anggota biasa. Tokoh-tokoh
Kristen ini disiksa amat sangat supaya mau masuk Islam. Sudah tentu sebagian dari mereka itu akan
terpaksa mengaku masuk Islam dan mereka inilah diinstruksikan kembali mengajak orang-orang Kristen
lainnya masuk Islam saja. Tetapi sebagian dari mereka itu tetap bersaksi bahwa walau dengan pedang
sekali pun mereka tidak akan dipisahkan dari Tuhannya. Maka menyusullah syahid-syahid lainnya dalam
Gereja Toraja, antara lain Pdt. J. Tawaluyan dan Lumeno, dan J.B. Tangdililing yang dibunuh di Palopo…
Pdt. S.Tappil, Guru Injil Baso' dan 8 orang Kristen Rongkong dibunuh di Masamba…Ds. P.S. Palisungan, L.
Sodu dan H. Djima' (keduanya pengantar Jemaat) dibunuh setelah mengalami siksaan yang hebat di Tjappa'
Solo', berpuluh-puluh lainnya disiksa kemudian dibunuh di Rongkong, antara lain pengantar-pengantar
Jemaat: J. Ledo, J. Subi', Ngila, M. Maddulu, M. Liling dan lain-lain" (Sarira, 1975:45).
2. Peristiwa Tahun 1953
Di tengah gelombang ancaman pemaksaan agama oleh DI/TII, terjadilah peristiwa pada bulan April 1953.
Tampaknya kecewa karena merasa cita-cita perjuangan asli dalam KGSS telah digadaikan oleh Kahar dengan
bergabung pada pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, pada Maret 1952 Andi Sose
bersama pasukannya berbalik haluan. Pasukannya dijadikan satu batalion TNI dengan nama "Batalion
720", dan Andi Sose sebagai komandannya diangkat menjadi Kapten. Batalion ini ditempatkan di Tana
Toraja. Tetapi tingkah laku anggota Batalion 720 lama-kelamaan membuat masyarakat merasa tidak aman
dan mulai resah. Kenangan akan pendudukan pasukan Arung Palakka di abad ke-17 kembali muncul dibenak
masyarakat. Dengan demikian keresahan masyarakat tidak lagi hanya terbatas pada soal keamanan.
Masyarakat mulai menyadari bahwa eksistensi etnis dan budaya Toraja kembali terancam. Situasi ini juga
membuat unsur Toraja dalam Batalion 720, Kompi 2 di bawah Frans Karangan, semakin menjauh dari Andi Sose.
Diam-diam terbentuklah kelompok perlawanan yang memandang diri sebagai penjelmaan To Pada Tindo dari
abad ke-17. Situasi genting semakin memuncak ketika tersiar berita bahwa Andi Sose berencana
mendirikan mesjid raya di tengah kolam di kota Makale, dan memaksa orang-orang Kristen yang pergi ke
gereja pada hari Minggu membawa batu kali ke lokasi itu. Akhirnya pecah konflik yang mencapai puncaknya
pada pertempuran 4 April di Makale, di mana kelompok perlawanan berhasil memaksa Andi Sose dan
pasukannya meninggalkan Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:408-418). Bigalke menulis, "Sukses
perlawanan 4 April itu menaikkan prestise pemimpin-pemimpin Kristen (Gereja Toraja) di Toraja, yang
pada gilirannya menjelaskan insiden tersebut sebagai luapan kesadaran etnis. Kekalahan utama
sesungguhnya dialami oleh kalangan elit tradisional di selatan (Tallu Lembangna) dan kelompok Muslim
sekutu mereka di Makale, yang berpihak pada Andi Sose. Sejumlah dari mereka ini sementara waktu
melarikan diri dari Toraja mengikuti pasukan yang mengundurkan diri" (Bigalke, 1981:416).
Kemudian Batalion 422 Diponegoro ditarik dari Toraja, dan digantikan oleh pasukan Brawijaya dari Jatim.
Kompi 2 di bawah Frans Karangan ditempatkan di Palu, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Batalion 758.
3. Peristiwa Tahun 1958:
Pada bulan-bulan pertama 1958 masyarakat Toraja kembali dikejutkan oleh laporan bahwa pasukan
Brawijaya akan ditarik dari Toraja untuk tugas memadamkan pemberontakan Permesta di Minahasa, dan akan
digantikan oleh unit-unit R.I. 23, batalion yang dikomandani Andi Sose. Parkindo, partai politik utama
di Tana Toraja waktu itu, mengutus delegasi ke Jakarta untuk memprotes penarikan pasukan Brawijaya.
Sebuah resolusi bersama dari partai-partai politik di Toraja juga dikirimkan melalui Kepala Daerah
kepada Gubernur Sulsel dan Mendagri di Jakarta. Tetapi semua itu gagal mencegah penempatan R.I. 23 di
Tana Toraja. Masyarakat Toraja memandang hal ini sebagai penghinaan besar, dan bersiap menghadapinya.
Frans Karangan, yang juga merasa khawatir, mengirim perlop satu kompi di bawah Pappang dari Palu ke
Toraja. Begitu juga orang Toraja dari unit-unit lainnya dicutikan ke Toraja. Dengan alasan keamanan
direncanakan pengungsian penduduk dari kota Makale dan Rantepao ke desa-desa yang aman. Tanggal yang
dipilih untuk boikot itu ialah 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional. Ini antara lain untuk menyatakan
kepada Pemerintah Pusat bahwa nasionalisme masyarakat Toraja jangan diragukan. Pada peristiwa 1953
simbolisme yang digunakan ialah perjuangan To Pada Tindo. Pappang membentuk apa yang disebut Barisan
Komando Rakyat (BKR), yang terdiri dari anggota kompinya, OPD (Organisasi Pertahanan Desa), para
pelajar dan penduduk, sebagai persiapan menghadapi serangan R.I. 23 yang dipastikan akan tiba. Setelah
terjadi kontak senjata kecil-kecilan, BKR memakai taktik mundur penuh ke Pangala'. Pasukan R.I. 23 maju
mengejar seakan-akan tanpa dapat ditahan, sambil membakar lumbung-lumbung desa, rumah-rumah dan
sekolah-sekolah. Tersiar desas-desus bahwa para komandan R.I. 23 itu kebal peluru. Yang jelas
organisasi mereka lebih unggul dalam hal disiplin dan persenjataan, dibandingkan dengan pasukan BKR
yang serba kurang pengalaman bertempur dan persenjataan. Di Pangala' BKR menghentikan taktik mundur.
Pappang mereorganisir pasukannya, dengan mereduksi unit-unit tergabung yang telah bertempur tidak
efektif ke dalam unit-unit terpisah: polisi, OPD, penduduk, pelajar, dan kompinya sendiri. Pasukan
R.I. 23 yang mengejar dan tiba di Pangala' dalam keadaan letih tidak meyangka akan menghadapi perlawanan
sengit. Pasukan BKR yang mengenal medan membuat taktik mundur, dan pasukan R.I. 23 mengejar. Tanpa
mereka sangka unit BKR lainnya memotong mereka dari belakang. Pertempuran sengit itu merupakan
kemenangan besar pertama bagi BKR. Pasukan R.I. 23 yang masih tersisa mundur tak teratur, meninggalkan
banyak senjata dan lebih dari seratus korban di pihaknya.
Setelah itu pasukan R.I. 23 tinggal terpusat di kota Rantepao dan Makale. Dan pasukan BKR mengadakan
tekanan terus-menerus atas mereka. Jalur komunikasi antara kedua kota itu berhasil diputus, sehingga
tak ada bala bantuan yang bisa lolos dari Makale ke Rantepao. Akhirnya pasukan yang di Rantepao
mengundurkan diri di tengah suatu malam gelap ke Makale lewat La'bo' - Randan Batu - Sangalla'. Pasukan
BKR, yang terlambat mengetahui pelarian itu, mencoba mengejar. Mereka masih berhasil mendapatkan dan
menawan barisan belakang. Tiga hari kemudian semua unit R.I. 23 ditarik dari Makale dan meninggalkan
Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:436-446).
Demikianlah orang Toraja di masa lampau membuktikan mampu mempertahankan independensinya, tak rela
dijajah oleh orang lain, termasuk oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri. Dan dengan demikian
mereka berhasil menjaga eksistensi etnis dan budayanya dalam kerangka NKRI yang bersemboyankan
"Bhinneka Tunggal Ika".
4. Pa'olle-olle Anak Gembala
Sebagaimana biasanya terjadi di mana pun, dalam sejarah pergulatan orang Toraja mempertahankan
eksistensi etnis dan budayanya, ada saja yang berkhianat dan bekerjasama dengan musuh. Di tahun 1950-an
anak-anak gembala di Toraja dengan hati perih menyindir mereka itu lewat kata-kata berlanggam khas ini:
Olle…olle…de',
Lai' Rinding salle gau',
Sampe Pandin buletuk,
Umbalukan tondokna tallu suku!
III. ABAD XXI?
Masih adakah kesadaran orang Toraja dewasa ini atas sejarah mereka? Sukarno menegaskan: "JAS MERAH!"
(JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH!). Dan orang Perancis berkata: "L'histoire se repete",
(Sejarah terulang); walau kadangkala dalam wujud berbeda namun isi tetap sama. Sadarkah kita akan salah
satu persoalan pokok bangsa ini yang hingga kini belum juga terselesaikan? Itulah persoalan KEBEBASAN
BERAGAMA yang usianya setua Republik ini! Pasal 29 UUD 1945 menjamin Kebebasan Beragama bagi setiap
warga negara. Tetapi apa kenyataannya? Apa yang dialami oleh kelompok minoritas Ahmadiyah? Dalam dua
dekade terakhir berapa ratus tempat ibadah (baca: gereja) dirusak dan dibakar di negeri ini? Lalu
tindakan apa yang telah diambil pihak berwenang terhadap aksi-aksi melanggar hukum dan main hakim
sendiri seperti itu? Di Negara Hukum kita ini kelihatannya bahkan pihak berwenang pun takut terhadap
bayangan tirani mayoritas. Kalau penguasa saja takut, apalagi rakyat minoritas! Jangan kita terlalu
cepat melupakan dua peristiwa tragis resen: kerusuhan Ambon dan Poso! Mampukah kita membaca secara
tepat dua peristiwa menyedihkan itu? Keduanya dimotori kelompok radikal agama yang didatangkan dari luar!
Akhirnya, relakah orang Toraja abad XXI melenyapkan JATIDIRI ETNIS dan BUDAYA SANG TORAYAN, yang oleh
nenek moyang dan generasi pendahulu telah berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah? Tetapi
kalau begitu anak-anak gembala Toraja tahun 1950-an akan kembali dengan perih hati MA'OLLE-OLLE!
Identitas setiap komunitas sosial, khususnya komunitas bangsa atau suku-bangsa tidak terbentuk sekali
jadi. Masing-masing mempunyai sejarahnya. Oleh karena itu kesadaran setiap anggota komunitas atas
sejarah komunitasnya mutlak perlu, apabila komunitas bersangkutan ingin tetap mempertahankan dan
memperkembangkan eksistensi jatidiri dasarnya ke depan. Pengenalan atas sejarahnya akan membantu
setiap komunitas sosial yang bersangkutan untuk mempertahankan warisan yang baik dan benar. Sedangkan
kesalahan di masa lampau akan menjadi pelajaran berharga, agar tidak terulang di masa kini dan di masa
depan. Tentu saja tidak terkecualikan dalam hal ini kelompok etnis Toraja. Tulisan singkat ini
dimaksudkan untuk membantu orang Toraja menyadari sejarahnya, dan dengan demikian diharapkan dapat
mengambil langkah tepat dan tidak membuat kesalahan fatal ke depan. Tulisan ini berupaya berada dalam
lingkup ilmiah. Setiap pernyataan dan informasi historis dilengkapi dengan referensi pada sumber terpercaya
I. ABAD XVII-XVIII:
1. Setelah Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa (Makassar) dikalahkan Belanda (V.O.C.) yang dibantu
oleh Arung Palakka dari Bone, dan dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada tahun 1667, maka
Kerajaan Bone dengan cepat menjadi paling berpengaruh dan berkuasa di Sulawesi Selatan (lih. Pol,
1940:127 dsl.). Arung Palakka menjadikan kerajaan-kerajaan sekitar sebagai vassal. Ia mengalahkan
Sidenreng, sebagian dari Mandar, dan Masenrempulu'. Lalu ia mulai mengarahkan perhatian ke Tondok
Lepongan Bulan (lih. Veen, 1940:39). Menurut salah satu catatan hariannya, tahun 1683 pasukannya telah
menduduki beberapa desa di wilayah Ma'kale-Rantepao (dikutip dlm. Veen, 1940:39).
2. Dalam invasi ke Tondok Lepongan Bulan ini Arung Palakka disertai Karaeng ri Gowa, dan didukung oleh
pasukan Sidenreng dan Mandar (Lijf, 1947-48:528). Dalam beberapa manuskrip ditemukan cerita,
bagaimana puang baine dari Sangalla', Indo' Garanta', bersama para tomakaka¬-nya, mendatangi Arung
Palakka dan Karaeng ri Gowa sebagai tanda menyerah. Kepadanya diberi dua pilihan: masuk Islam dan dengan
demikian akan jadi vassal dari Bone, atau tetap berpegang pada adat dan agama nenek moyangnya dan begitu
dijadikan hamba dari Bone dan Gowa. Dan ia memilih yang terakhir: tetap setia pada adat dan agama leluhur!
(dikutip dlm. Lijf, 1947-48:528).
3. Perang To Pada Tindo: Pendudukan pasukan Bone lama-kelamaan menimbulkan perlawanan. Terlebih
setelah pasukan pendudukan menculik tiga putri bangsawan Tallu Lembangna, dan menegaskan bahwa
ketiganya baru akan dibebaskan setelah penduduk bersedia membayar pajak 15 kali lipat. Walau
diberitakan ketiganya akhirnya berhasil dibebaskan seorang to barani dari Madandan, bernama
Karasiak, peristiwa penculikan itu membuat shock di seluruh negeri (lih. Tangdilintin, 1978:136
dsl.). Lahirlah gerakan To Pada Tindo To Misa' Pangimpi untuk membebaskan Tondok Lepongan Bulan, yang
bersemboyankan "Misa kada dipotuo, pantan kada dipomate". Perlawanan To Pada Tindo akhirnya berhasil
mengusir tentara pendudukan. Untuk merayakan kemenangan itu, dilangsungkan bua' di Bamba Puang, yang
disebut "Bua' Kasalle Tondok Lepongan Bulan" (Lih. Tangdilintin, 1978:144 dsl.; Veen, 1940:39 dsl.).
Peristiwa ini menjadi dasar historis solidaritas tradisional orang Toraja ketika mereka menemukan
diri dalam kesulitan (lih. Lijf, 1947-48:528-529).
4. Setiap komunitas adat di Tondok Lepongan Bulan mengambil bagian dalam gerakan To Pada Tindo, kecuali
komunitas adat Karunanga. Itu sebabnya komunitas adat ini selanjutnya dijuluki "To ribang la'bo', to
simpo mataran" (lih. Tangdilintin, 1978:144 dsl.).
5. Tercatat sesudah itu pasukan Bone masih mencoba menginvasi Tondok Lepongan Bulan pada tahun 1702 dan
1705 (Lijf, 1947-48:528). Tetapi akhirnya pada tahun 1710 dicapai sebuah perjanjian perdamaian.
Perjanjian ini dibuat di desa Malua', sehingga disebut Basse Malua' (Tangdilintin, 1978: 161 dan 170
dsl.). Hampir dua abad kemudian perjanjian ini tetap dihormati, ketika pada tahun 1897, atas permintaan
Datu Luwu', pasukan Bone (songko' borrong) di bawah pimpinan Petta Punggawa memasuki Tondok Lepongan
Bulan untuk memerangi pasukan Sidenreng yang dipimpin Ande Guru dalam konflik memperebutkan monopoli
perdagangan kopi antara Luwu (Palopo) dan Sidenreng (Pare-Pare), yang dikenal dengan nama "rarinna
kopi batu". Di setiap tondok yang dilalui pasukannya, Petta Punggawa menekankan tugas melindungi
penduduk dalam misi mereka, dan bahwa kedatangan mereka atas permintaan Luwu; mereka tidak mau merusak
hubungan damai antara Bone dan Tondok Lepongan Bulan yang telah dicapai dua abad berselang. (Lih.
Bigalke, 1981:54-58; Lijf, 1947-48:529-530).
II. ABAD XX:
1. Pemaksaan Agama oleh DI/TII:
Sesungguhnya gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar yang berlangsung sekitar 15 tahun (1950-1965) di
Sulawesi Selatan, semula tidak membawa warna ideologi agama. Gerakan itu semula bernama KGSS (Kesatuan
Gerilya Sulawesi Selatan), yang bertujuan memperjuangkan tempat yang layak dalam era Indonesia
merdeka bagi para pejuang gerilya Sulsel selama perang kemerdekaan. Tetapi kemudian beralih menjadi
gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Dan dengan itu dilanjutkanlah gerakan
islamisasi dengan paksa. Dengan mengutip tulisan berjudul "20.000 Pengungsi Tercatat hingga Akhir
Oktober 1953 di Luwu" dalam edisi Rakyat Berjoang, 5 November 1953: p.2, Bigalke menulis:
"Akibat-akibat Islamisasi…dirasakan di dataran tinggi wilayah Luwu dan di pinggiran timur dan
selatan Tana Toraja sejak awal 1952. Baik orang-orang Kristen maupun pemeluk agama asli menjadi sasaran
serangan para gerilyawan. Terjadi banyak penculikan, pembunuhan, pencurian, dan insiden di mana
desa-desa dibakar. Pemaksaan masuk Islam terjadi di setiap tempat tersebut, di wilayah baratdaya
Toraja sendiri mencapai beberapa ribu orang. Para pengungsi dari bagian utara dan barat Luwu mulai
mengalir ke Toraja di tahun 1952, dan mencapai puncaknya menjelang akhir 1953, mencapai sekitar 20.000
orang di kota Makale dan Rantepao" (Bigalke, 1981:423).
Pada September 1953 Kahar mengeluarkan Piagam Makalua', yang berisi dasar ideologis gerakan DI/TII.
Salah satu poin penting dan kedengarannya baik dalam Piagam tersebut, ialah pernyataan bahwa kebebasan
beragama dijamin tetapi hanya untuk agama Islam dan Kristiani. Tetapi apa yang baik di atas kertas,
ternyata tidak dilakukan dalam praktek. "Dalam kurun waktu enam bulan semua orang, yang sebelumnya
telah diberitahu untuk memilih antara Islam atau Kekristenan, dipaksa menyatakan diri masuk Islam"
(Bigalke, 1981:424). "Untuk mencapai tujuannya, yaitu mengislamkan orang-orang Kristen, maka mereka
(para gerilyawan DI/TII) memisahkan tokoh-tokoh Kristen dengan anggota-anggota biasa. Tokoh-tokoh
Kristen ini disiksa amat sangat supaya mau masuk Islam. Sudah tentu sebagian dari mereka itu akan
terpaksa mengaku masuk Islam dan mereka inilah diinstruksikan kembali mengajak orang-orang Kristen
lainnya masuk Islam saja. Tetapi sebagian dari mereka itu tetap bersaksi bahwa walau dengan pedang
sekali pun mereka tidak akan dipisahkan dari Tuhannya. Maka menyusullah syahid-syahid lainnya dalam
Gereja Toraja, antara lain Pdt. J. Tawaluyan dan Lumeno, dan J.B. Tangdililing yang dibunuh di Palopo…
Pdt. S.Tappil, Guru Injil Baso' dan 8 orang Kristen Rongkong dibunuh di Masamba…Ds. P.S. Palisungan, L.
Sodu dan H. Djima' (keduanya pengantar Jemaat) dibunuh setelah mengalami siksaan yang hebat di Tjappa'
Solo', berpuluh-puluh lainnya disiksa kemudian dibunuh di Rongkong, antara lain pengantar-pengantar
Jemaat: J. Ledo, J. Subi', Ngila, M. Maddulu, M. Liling dan lain-lain" (Sarira, 1975:45).
2. Peristiwa Tahun 1953
Di tengah gelombang ancaman pemaksaan agama oleh DI/TII, terjadilah peristiwa pada bulan April 1953.
Tampaknya kecewa karena merasa cita-cita perjuangan asli dalam KGSS telah digadaikan oleh Kahar dengan
bergabung pada pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, pada Maret 1952 Andi Sose
bersama pasukannya berbalik haluan. Pasukannya dijadikan satu batalion TNI dengan nama "Batalion
720", dan Andi Sose sebagai komandannya diangkat menjadi Kapten. Batalion ini ditempatkan di Tana
Toraja. Tetapi tingkah laku anggota Batalion 720 lama-kelamaan membuat masyarakat merasa tidak aman
dan mulai resah. Kenangan akan pendudukan pasukan Arung Palakka di abad ke-17 kembali muncul dibenak
masyarakat. Dengan demikian keresahan masyarakat tidak lagi hanya terbatas pada soal keamanan.
Masyarakat mulai menyadari bahwa eksistensi etnis dan budaya Toraja kembali terancam. Situasi ini juga
membuat unsur Toraja dalam Batalion 720, Kompi 2 di bawah Frans Karangan, semakin menjauh dari Andi Sose.
Diam-diam terbentuklah kelompok perlawanan yang memandang diri sebagai penjelmaan To Pada Tindo dari
abad ke-17. Situasi genting semakin memuncak ketika tersiar berita bahwa Andi Sose berencana
mendirikan mesjid raya di tengah kolam di kota Makale, dan memaksa orang-orang Kristen yang pergi ke
gereja pada hari Minggu membawa batu kali ke lokasi itu. Akhirnya pecah konflik yang mencapai puncaknya
pada pertempuran 4 April di Makale, di mana kelompok perlawanan berhasil memaksa Andi Sose dan
pasukannya meninggalkan Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:408-418). Bigalke menulis, "Sukses
perlawanan 4 April itu menaikkan prestise pemimpin-pemimpin Kristen (Gereja Toraja) di Toraja, yang
pada gilirannya menjelaskan insiden tersebut sebagai luapan kesadaran etnis. Kekalahan utama
sesungguhnya dialami oleh kalangan elit tradisional di selatan (Tallu Lembangna) dan kelompok Muslim
sekutu mereka di Makale, yang berpihak pada Andi Sose. Sejumlah dari mereka ini sementara waktu
melarikan diri dari Toraja mengikuti pasukan yang mengundurkan diri" (Bigalke, 1981:416).
Kemudian Batalion 422 Diponegoro ditarik dari Toraja, dan digantikan oleh pasukan Brawijaya dari Jatim.
Kompi 2 di bawah Frans Karangan ditempatkan di Palu, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Batalion 758.
3. Peristiwa Tahun 1958:
Pada bulan-bulan pertama 1958 masyarakat Toraja kembali dikejutkan oleh laporan bahwa pasukan
Brawijaya akan ditarik dari Toraja untuk tugas memadamkan pemberontakan Permesta di Minahasa, dan akan
digantikan oleh unit-unit R.I. 23, batalion yang dikomandani Andi Sose. Parkindo, partai politik utama
di Tana Toraja waktu itu, mengutus delegasi ke Jakarta untuk memprotes penarikan pasukan Brawijaya.
Sebuah resolusi bersama dari partai-partai politik di Toraja juga dikirimkan melalui Kepala Daerah
kepada Gubernur Sulsel dan Mendagri di Jakarta. Tetapi semua itu gagal mencegah penempatan R.I. 23 di
Tana Toraja. Masyarakat Toraja memandang hal ini sebagai penghinaan besar, dan bersiap menghadapinya.
Frans Karangan, yang juga merasa khawatir, mengirim perlop satu kompi di bawah Pappang dari Palu ke
Toraja. Begitu juga orang Toraja dari unit-unit lainnya dicutikan ke Toraja. Dengan alasan keamanan
direncanakan pengungsian penduduk dari kota Makale dan Rantepao ke desa-desa yang aman. Tanggal yang
dipilih untuk boikot itu ialah 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional. Ini antara lain untuk menyatakan
kepada Pemerintah Pusat bahwa nasionalisme masyarakat Toraja jangan diragukan. Pada peristiwa 1953
simbolisme yang digunakan ialah perjuangan To Pada Tindo. Pappang membentuk apa yang disebut Barisan
Komando Rakyat (BKR), yang terdiri dari anggota kompinya, OPD (Organisasi Pertahanan Desa), para
pelajar dan penduduk, sebagai persiapan menghadapi serangan R.I. 23 yang dipastikan akan tiba. Setelah
terjadi kontak senjata kecil-kecilan, BKR memakai taktik mundur penuh ke Pangala'. Pasukan R.I. 23 maju
mengejar seakan-akan tanpa dapat ditahan, sambil membakar lumbung-lumbung desa, rumah-rumah dan
sekolah-sekolah. Tersiar desas-desus bahwa para komandan R.I. 23 itu kebal peluru. Yang jelas
organisasi mereka lebih unggul dalam hal disiplin dan persenjataan, dibandingkan dengan pasukan BKR
yang serba kurang pengalaman bertempur dan persenjataan. Di Pangala' BKR menghentikan taktik mundur.
Pappang mereorganisir pasukannya, dengan mereduksi unit-unit tergabung yang telah bertempur tidak
efektif ke dalam unit-unit terpisah: polisi, OPD, penduduk, pelajar, dan kompinya sendiri. Pasukan
R.I. 23 yang mengejar dan tiba di Pangala' dalam keadaan letih tidak meyangka akan menghadapi perlawanan
sengit. Pasukan BKR yang mengenal medan membuat taktik mundur, dan pasukan R.I. 23 mengejar. Tanpa
mereka sangka unit BKR lainnya memotong mereka dari belakang. Pertempuran sengit itu merupakan
kemenangan besar pertama bagi BKR. Pasukan R.I. 23 yang masih tersisa mundur tak teratur, meninggalkan
banyak senjata dan lebih dari seratus korban di pihaknya.
Setelah itu pasukan R.I. 23 tinggal terpusat di kota Rantepao dan Makale. Dan pasukan BKR mengadakan
tekanan terus-menerus atas mereka. Jalur komunikasi antara kedua kota itu berhasil diputus, sehingga
tak ada bala bantuan yang bisa lolos dari Makale ke Rantepao. Akhirnya pasukan yang di Rantepao
mengundurkan diri di tengah suatu malam gelap ke Makale lewat La'bo' - Randan Batu - Sangalla'. Pasukan
BKR, yang terlambat mengetahui pelarian itu, mencoba mengejar. Mereka masih berhasil mendapatkan dan
menawan barisan belakang. Tiga hari kemudian semua unit R.I. 23 ditarik dari Makale dan meninggalkan
Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:436-446).
Demikianlah orang Toraja di masa lampau membuktikan mampu mempertahankan independensinya, tak rela
dijajah oleh orang lain, termasuk oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri. Dan dengan demikian
mereka berhasil menjaga eksistensi etnis dan budayanya dalam kerangka NKRI yang bersemboyankan
"Bhinneka Tunggal Ika".
4. Pa'olle-olle Anak Gembala
Sebagaimana biasanya terjadi di mana pun, dalam sejarah pergulatan orang Toraja mempertahankan
eksistensi etnis dan budayanya, ada saja yang berkhianat dan bekerjasama dengan musuh. Di tahun 1950-an
anak-anak gembala di Toraja dengan hati perih menyindir mereka itu lewat kata-kata berlanggam khas ini:
Olle…olle…de',
Lai' Rinding salle gau',
Sampe Pandin buletuk,
Umbalukan tondokna tallu suku!
III. ABAD XXI?
Masih adakah kesadaran orang Toraja dewasa ini atas sejarah mereka? Sukarno menegaskan: "JAS MERAH!"
(JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH!). Dan orang Perancis berkata: "L'histoire se repete",
(Sejarah terulang); walau kadangkala dalam wujud berbeda namun isi tetap sama. Sadarkah kita akan salah
satu persoalan pokok bangsa ini yang hingga kini belum juga terselesaikan? Itulah persoalan KEBEBASAN
BERAGAMA yang usianya setua Republik ini! Pasal 29 UUD 1945 menjamin Kebebasan Beragama bagi setiap
warga negara. Tetapi apa kenyataannya? Apa yang dialami oleh kelompok minoritas Ahmadiyah? Dalam dua
dekade terakhir berapa ratus tempat ibadah (baca: gereja) dirusak dan dibakar di negeri ini? Lalu
tindakan apa yang telah diambil pihak berwenang terhadap aksi-aksi melanggar hukum dan main hakim
sendiri seperti itu? Di Negara Hukum kita ini kelihatannya bahkan pihak berwenang pun takut terhadap
bayangan tirani mayoritas. Kalau penguasa saja takut, apalagi rakyat minoritas! Jangan kita terlalu
cepat melupakan dua peristiwa tragis resen: kerusuhan Ambon dan Poso! Mampukah kita membaca secara
tepat dua peristiwa menyedihkan itu? Keduanya dimotori kelompok radikal agama yang didatangkan dari luar!
Akhirnya, relakah orang Toraja abad XXI melenyapkan JATIDIRI ETNIS dan BUDAYA SANG TORAYAN, yang oleh
nenek moyang dan generasi pendahulu telah berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah? Tetapi
kalau begitu anak-anak gembala Toraja tahun 1950-an akan kembali dengan perih hati MA'OLLE-OLLE!
0 komentar:
Posting Komentar