Bulan Agustus 1953 merupakan awal peristiwa penting dan bersejarah bagi kehidupan patriot pejuang Sulawesi dan Abdul Qahhar Mudzakkar sendiri. Setelah melalui perjalanan yang panjang, dikhianati ole kawan maupun lawan dan terjadi kristalisasi kepentingan-kepentingan para pendukung perjuangan. Tiga tahun lamanya pimpinan tertinggi patriot pejuang KGSS bertafakur-berichtiar dan bermusyawarah bersama sebelum memutuskan arah perjuangan selanjutnya.
Kalau pada mulanya mereka hanya menyelematkan nasib gerilyawan pejuang kemerdekaan dari pengkhianatan yang dilakukan oleh komandan TNI bekas KNIL, membela hak-hak dan membela nasib saudara/kawan, terutama nasib para pejuang dari daerah-daerah. Memperjuangkan nasib rakyat Sulawesi yang menjadi korban karena disia-siakan serta ditelantarkan oleh pemerintah akibat dari kekuatan militer yang berada ditangan para bekas KNIL. Maka sejak bulan Agustus 1953 daratan Sulawesi dinyatakan sebagai daerah de facto NII. Dimana pejuang Islam Revolusioner menegakkan pemerintahan Islam yang menjalankan hukum Islam bedasarkan Al-Qur’an dan Hadist Shahih.
Abdul Qahhar Mudzakkar memilih mengkonsentrasikan diri dalam perjuangan sebagai seorang muslim, menjalani kehidupan sebagai hamba Allah mengikuti jejak perjuangan yang dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dalam menjalankan risalah agama di bumi ini. Mereka yang bersama dengan Abdul Qahhar, pada akhirnya menemukan, bahwa tidak ada jalan lain dan tiada pilihan lain, bagi penganut agama Islam, harus menjadikan Al-Qur’an dan Hadist sebagai pegangan hidup yang utuh. Tidak ada keraguan, tidak ada ketakutan, dan juga tidak ada perasaan derita dalam perjalanan menegakan Ad-Dien.
Ketika zamannya Abdul Qahhar Mudzakkar, rakyat Sulawesi Selatan digolongkan dalam dua golongan, pertama pejuang yang terdiri dari rakyat/masyarakat yang tidak dibedakan apakah mereka berasal dari aristokrat atau warga biasa. Dimana salah seorang dari anggota keluarganya yang kadang-kadang adalah kakek/nenek, ayah/ibu, kakak, adik, mantu, ipar atau mertua mereka dlsb yang memang sejak awal benci dan melawan penindasan penjajah Belanda, mereka itu mengikat diri dalam suatu kesatuan untuk berjuang melawan penjajahan, karena itu mereka dinamakan patriot atau pejuang. Sedangkan yang lainnya yaitu mereka yang berkhianat dan bekerja sama dengan Belanda, mereka ini mengkhianati bangsa dan negaranya sendiri, sebagai KNIL. Sedangkan golongan lain daripada itu, adalah yang tidak menjadi perhitungan karena mereka tidak memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri masyarakat Sulawesi yang dikenal akan kejujuran, ketegasan dan keberaniannya.
Perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno tercatat sebagai perlawanan terpanjang dalam sejarah TNI di Sulawesi. Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.
Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut.“Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an….”
Tapi sayang, seruan Kahar Muzakkar seperti gaung di dalam sumur. Harap tak bertemu, malah petaka yang dituai. Kahar Muzakkar menjemput ajalnya di tangan tentara Divisi Siliwangi yang dikirim khusus menghabisi gerakannya. Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri. (ref/sabili)
Piagam Makalua
Dalam konperensi para pimpinan kaum gerilyawan sebelum dinyatakan Sulawesi sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), oleh Kahar Muzakkar sebetulnya telah disusun suatu konstitusi Negara Republik Islam Indonesia (NRII), atau, disebut juga Republik Islam Indonesia (RII). Konstitusi ini dikenal luas belakangan sebagai Piagam Makalua, menurut nama tempat konperensi penyusunan tersebut dilangsungkan, di Makalua.
Piagam Makalua adalah salah satu dokumen yang masih ada, yang dapat memberikan setidak-tidaknya sekadar pandangan mengenai sifat gerakan Kahar Muzakkar. Satu pamflet lain yang ditulis Kahar Muzakkar sendiri berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner. Dokumen-dokumen ini pertama-tama membuktikan, dibandingkan dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Kahar Muzakkar lebih berat menekankan pada organisasi sosial dan ekonomi negara. Dokumen-dokumen Darul Islam Sulawesi memuat lebih banyak, dan lebih teliti mengenai pasal-pasal yang mengatur kehidupan sosial dan ekonomi.
Bukti kedua yang timbul dari bahan-bahan ini adalah bahwa Darul Islam pimpinan Kahar Muzakkar bertujuan menciptakan ragam masyarakat sama derajat, dan dalam beberapa hal masyarakat puritan. Ingin menghilangkan semua sisa norma sosial tradisional, membayangkan landreform yang sederhana, dan bertujuan melenyapkan perbedaan-perbedaan dalam kekayaan pribadi pada umumnya. Tetapi kekurangan pengalaman dan bimbingan yang tepat menjadikan sebagian besar peraturan yang bermaksud baik ini jadi tak berarto di dalam prakteknya.
Kahar Muzakkar berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional di Sulawesi Selatan dengan menanggulangi jebakan-jebakan luarnya. Demikianlah Piagam Makalua berusaha menghapuskan penggunaan gelar atau kehormatan sengaja atau tidak sengaja. Sesuai dengan itu pengunaan gelar-gelar seperti Andi, Daeng, Gede-Bagus, Tengku, dan Raden dilarang. Dalam kegiatannya untuk menegakkan persamaan, dia juga melarang penggunaan gelar khas Islam seperti Haji, demikian pula kata-kata umum yang digunakan untuk menghormat, seperti Bapak atau Ibu. Kata-kata ini juga dicap feodal.
Selanjutnya Piagam Makalua menyatakan perang terhadap semua orang turunan bangsawan atau aristokrat yang tidak mau membuang gelarnya, demikian pula terhadap kelompok-kelompok mistik fanatik. Sebagian Piagam Makalua ditujukan pada pengaturan perkawinan. Beberapa ketentuanyang relevan sangat jelas dan mudah dipahami.
Demikianlah piagam ini menentukan setiap orang yang melanggar hukum Islam tentang pergaulan sosial dan tentang hubungan-hubungan antara kedua jenis kelamin untuk dituntut. Lalu terdapat peraturan-peraturan yang dibuat untuk membatasi biaya perkawinan. Sebaliknya, peraturan-peraturan yang lain lebih menimbulkan kesan aneh bila dibaca permulaan. Begitulah, mereka yang menentang poligami akan dituntut dan tak satu pun usul perkawinan boleh ditolak kecuali pelamar adalah anak-anak, impoten, penderita penyakit menular, atau keji wataknya
Bagian piagam ini yang mengatur cara hidup dan hak-hak milik para Mujahidin (pejuang dalam jalan Allah) dan keluarganya dalam proses revolusi, membuktikan sejelas-jelasnya akan cita-cita persamaan kaum pemberontak. Pembelian dan pemilikan ternak dan tanah, demikian pula kedai, pabrik, kendaraan sewaan, perahu layar, dan sebagainya dilarang, kecuali dengan izin organisasi revolusioner. Pasal ini kemudian memungkinkan titik awal pelaksanaan landreform yang sederhana. Cara pelaksanaannya kemudian dinyatakan lebih terperinci oleh Kahar Muzakkar.
Bagian lain dari bab yang sama membicarakan pemilikan harta benda pribadi oleh Pejuang-pejuang Islam revolusioner dan keluarganya. Demikianlah mereka dilarang memiliki atau memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutera, menggunakan minyak rambut, pemerah bibir atau bedak, dan memakan makanan atau minuman yang dibeli di kota yang dikuasai musuh, seperti susu, coklat, mentega, keju, daging atau ikan kalengan, biskuit, gandum, gula tebu, dan teh. Bila barang-barang ini dengan sah telah dalam penguasaan pemilik yang sekarang, maka organisasi revolusioner akan membeli atau meminjamnya: bila sebaliknya barang-barang ini diperoleh melalui penipuan moral, maka barang ini akan disita.
Ketika mendengar keluhan-keluhan rakyat dan menyaksikan krisis moral dan kecenderungan anak buahnya terhadap kesenangan dan hidup mewah, segera Kahar Muzakkar menempuh gerakan sosialisme primitif. Gerakannya mulai 1 Maret 1955, dan direncanakan berlangsung enam bulan, dan selama masa ini prajurit-prajurit Kahar Muzakkar dan keluarga mereka harus menyerahkan semua milik yang dianggap Kahar Muzakkar bersifat mewah atau berlebihan. Emas dan intan gosokan harus dipinjamkan kepada pemerintah militer, yang akan mengubah barang-barang ini menjadi uang tunai melalui pedagang-pedagang terpercaya di kota-kota.
Dengan uang yang terkumpul lewat cara ini akan dibeli senjata dan keperluan yang lain-lain. Semua orang yang menyerahkan emas dan intannya akan diberi ganti rugi segera setelah keadaan menjadi stabil. Peraturan ini juga berlaku bagi arloji tangan, yang hanya diperkenankan untuk keperluan militer, lampu gas, dan radio, yang hanya diperkenankan terdapat di bangunan-bangunan militer atau pemerintah. Selanjutnya ditetapkan, satu keluarga tidak boleh menyimpan lebih dari Rp 30 sebulannya. Sementara itu pakaian prajurit dan keluarganya juga mengalami pembatasan-pembatasan yang keras, dan Kahar Muzakkar mendesak mereka untuk menyerahkan semua pakaian yang berlebih dari jumlah maksimal yang ditentukan kepada rakyat yang lebih membutuhkannya, atau kalau tidak menjualnya kepada pemerintah bentukannya
Dipatuhinya secara ketat peraturan-peraturan ini tampaknya menimbulkan akses-akses tertentu. Diisyaratkan pula, tak seorang pun yang tahu apakah senjata dan kebutuhan perang yang lain sesungguhnya dibeli dengan hasil-hasil dari barang-barang yang diserahkan rakyat tadi.
Pada tahun itu pula ketika direncanakan akan berlangsung revolusi moral, diselenggarakan sebuah konperensi oleh Bahar Mattaliu di Wanua Waru yang belakangan berhasil menyusun Program Islam Revolusioner. Salah satu persoalan yang disetujui di sini adalah poligami harus dipropagandakan. Konperensi juga dihadiri seorang wakil gerakan Darul Islam pimpinan Daud Beureuh di Aceh. Dalam usahanya memberikan ini kepada gagasannya, Kahar Muzakkar mulai mendirikan poliklinik-poliklinik, sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, dan akademi ilmu sastra. Agar akademi ini memperoleh bahan-bahan yang diperlukannya, pasukannya menggedor perpustakaan di Majene, dan menurut laporan ada sekitar 2.500 buku judul lenyap. Kemudian gerombolan Kahar melakukan penculikan para tenaga medis untuk dipaksa bekerja di poliklinik-polikliniknya
Sesungguhnya, Kahar Muzakkar adalah seorang muslim yang saleh. Meski ada kalanya kalangan non-muslim yang menjadi korban serangan gerombolannya, dan hal ini biasanya banyak dipersoalkan, tampaknya orang yang bersangkutan hanya dibunuh bila mereka melawan para pemberontak dan menolak memberikan makanan dan informasi kepada mereka. Pada umumnya orang-orang sipil, muslim dan non-muslim dipandang sama, diperlakukannya dengan baik. Demikianlah dilaporkan, bahwa gerombolan-gerombolan di bawah pimpinan Kahar Muzakar masih menghormati hak-hak kemanusiaan, dan dilaporkan pula, “…yang menjadi kenyataan ialah gerombolan-gerombolan melakukan tekanan pada orang-orang muslim agar mematuhi suruhan Tuhan dan sembahyang lima kali sehari …”
0 komentar:
Posting Komentar