Pembantaian Ummat Islam: Ambon berdarah
Juni 7, 2011
Tragedi pembantaian di Tobelo ini, bermula ketika Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera) mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo, yang jumlahnya mencapai 30.000 orang, yang dilakukan secara bertahap, sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999. Puncaknya, pada Jumat 24 Desember 1999 malam (menjelang Hari Natal 25 Desember 1999) dengan beberapa buah truk, telah diangkut ratusan warga Kristen dari Desa Leleoto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Dengan alasan untuk pengamanan gereja. Warga Kristen yang diangkut tersebut menggunakan atribut lengkap (seolah-olah mau perang), seperti kain ikat kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.
Mengetahui gelagat yang kurang baik dari warga Kristen tersebut, umat Islam Tobelo mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Saat itu umat Islam sedang dalam suasana menjalankan ibadah shaum ramadhan. Akhirnya pada 26 Desember 1999, pecahlah pembantaian yang dikesankan adanya kerusuhan, konflk horizontal. Padahal, sebelumnya tidak ada konflik apa-apa. Tragedi ini konon dipicu oleh adanya persoalan sepele berupa pelemparan batu terhadap rumah milik Chris Maltimu seorang purnawirawan polisi. Rupanya pelemparan terhadap rumah Chris Maltimu itu dijadikan trigger untuk aksi pembantaian yang sudah dirancang sebelumnya.
Mengetahui gelagat yang kurang baik dari warga Kristen tersebut, umat Islam Tobelo mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Saat itu umat Islam sedang dalam suasana menjalankan ibadah shaum ramadhan. Akhirnya pada 26 Desember 1999, pecahlah pembantaian yang dikesankan adanya kerusuhan, konflk horizontal. Padahal, sebelumnya tidak ada konflik apa-apa. Tragedi ini konon dipicu oleh adanya persoalan sepele berupa pelemparan batu terhadap rumah milik Chris Maltimu seorang purnawirawan polisi. Rupanya pelemparan terhadap rumah Chris Maltimu itu dijadikan trigger untuk aksi pembantaian yang sudah dirancang sebelumnya.
Menurut Ode Kirani, warga muslim dari desa Togoliwa, kecamatan Tobelo, Halmahera, pada 27 Desember 1999, saat warga desa sedang menjalankan ibadah puasa, tanpa diduga sebelumnya ribuan masa kristen yang berasal dari desa tetangga (antara lain, Telaga Paca, Tobe, Tomaholu, Yaro, dan lain-lain) menyerang desa Togoliwa di saat subuh. Akibat serangan mendadak tersebut ribuan warga muslim di desa tersebut menemui ajal. Kebanyakan dari mereka terbunuh saat berlindung di masjid. (Ambon, Laskarjihad.or.id 16 03 2001).
Rabu, 29 Desember 1999, di Mesjid Al Ikhlas (Kompleks Pam) tempat diungsikanya para ibu dan anak-anak, terjadi pembantaian terhadap sekitar 400 (empat ratus) jiwa. Menurut penuturan saksi mata, ada korban yang sempat jatuh dicincang dan dijejerkan kepala mereka di ruas jalan. Ada juga beberapa wanita yang dibawa ke Desa Tobe (sekitar 9 KM ) dari Desa Togoliwa, kemudian dikembalikan dalam keadaan telanjang. Modus operasi yang dilakukan oleh kelompok merah mula-mula melakukan pemboman kemudian dilanjutkan dengan pembakaran, sehingga tidak ada satu pun yang lolos dari sasaran mereka.
Menurut sebuah sumber, total korban di Tobelo dan Galela mencapai 3000 jiwa, 2800 di antaranya Muslim. Namun demikian, angka yang diakui Max Marcus Tamaela yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Pattimura adalah 771 jiwa. Meski angka itu masih jauh dari kenyataan, namun masih jauh lebih banyak dibanding dengan angka yang diakui Gus Dur yaitu ‘hanya’ lima orang saja.
Ketika pembantaian Tobelo terjadi, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Bila menurut penglihatannya korban Tobelo-Galela hanya lima orang saja, kita harus maklum. Karena, pertama, Gus Dur itu pembela kaum minoritas. Kedua, penglihatannya memang terganggu. Kala itu, Menkopolkam dijabat oleh Wiranto, dan Panglima TNI dijabat oleh Widodo AS. Sayangnya, posisi mereka saat itu tidak bisa memperbaiki kualitas penglihatan Gus Dur terhadap kasus pembantaian umat Islam di sana. Padahal mereka juga beragama Islam.
Hajjah Aisyah Aminy, SH, yang kala itu menjabat sebagai anggota Komnas HAM, menyesalkan sikap aktivis LSM yang selama ini dikenal sebagai pejuang keadilan masyarakat, namun membisu ketika umat Islam yang jadi korban. Aisyah juga menyesalkan sikap media massa yang kurang antusias memberitakan peristiwa di Maluku itu. Tapi kalau yang mati adalah teman mereka sendiri, meski hanya satu orang seperti Munir, mereka heboh bukan main dengan membawa-bawa alasan pelanggaran HAM sampai ke hadapan Bush segala.
Bila kita mendasarkan pada angka yang diakui Tamaela, yaitu 771 jiwa, jumlah itu pun masih jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama dan Kedua. Apalagi bila ditambah dengan korban pembantaian yang dilakukan Tibo cs terhadap warga pesantren Walisongo, jumlah koran Bom Bali secara keseluruhan masih jauh lebih kecil. Namun perhatian dunia, kalangan LSM, kalangan pers, dan pemerintah Indonesia sendiri, kurang hirau bahkan cenderung mengabaikan korban Tobelo-Galela dan Poso (termasuk warga Pesantren Walisongo)
Kesaksian Korban Kerusuhan Maluku
Kebiadaban massa Kristen terhadap umat Islam di Maluku memang sungguh keterlaluan. “Ini merupakan peristiwa keji yang lebih sadis dari apa yang dilakukan PKI,” tegas Camat Galela, Drs. Ichwan Marzuki (Republika, 5/1). Dibawah ini hanyalah segelintir dari saksi hidup yang berani memberi kesaksian seputar kekejaman umat Kristen di Maluku.
Mufli M. Yusuf (15 th) SMP Al-Khairat Kelas III, Desa Popelo,Tobelo:
Rabu, (21/12/99) pk.09.00 WIT. Orang-orang Kristen dari Kampung Kusur Telaga Panca, dan Kao menyerang Desa Togolihua yang Muslim. Kami, ribuan umat Islam, berlindung ke Masjid al-Ikhlas. Masjid dikepung lalu di bom (bom pipa rakitan, menunjukkan bahwa pihak Kristen sudah mengadakan persiapan sebelumnya). Orang-orang kafir itu juga memanah ke dalam Masjid dengan panah yang telah dilumur darah babi. Sebagian dari mereka melempari Masjid dengan batu-batu besar hingga banyak tembok Masjid yang bolong. Kami yang ada di Masjid –kebanyakan anak kecil dan ibu-ibu– akhirnya menyerah setelah satu jam di gempur perusuh Kristen.
Orang-orang kafir itu lalu menyerbu ke dalam Masjid, lebih dari 500 orang Islam lari keluar Masjid. Ada yang masuk hutan, ada pula yang menyerah. Tubuh saya berlumur darah, mungkin sebab itu mereka mengira saya sudah mati. Di sekeliling saya ada banyak sekali, sekitar 600 orang, syahid dengan kondisi amat menyedihkan. Dalam penyerangan itu, saya lihat banyak muslimah yang ditelanjangi orang Kristen. Walau para muslimah itu berteriak-teriak minta ampun, tapi dengan biadab mereka diperkosa beramai-ramai di halaman Masjid dan di jalan-jalan. Setelah itu mereka di bawa ke atas truk, juga anak-anak kecilnya, katanya mau dipelihara oleh orang Kristen. Para muslimah yang tidak mau ikut langsung dicincang hidup-hidup. Orang kafir itu saling berebutan mencincang bagai orang berebutan mencincang ular.
Seorang muslimah digantung hidup-hidup lalu dibakar. Pukul 13.00 WIT, perusuh Kristen itu membakar habis Masjid dengan lebih 600 tubuh syuhada didalamnya. Saya yang penuh luka bakar dengan susah payah keluar dari Masjid lewat tembok yang bolong. Saya mencari orang Islam yang masih hidup, tapi tidak ada. Semua rumah penduduk Muslim juga sudah terbakar. Saya akhirnya bertemu dengan seorang Polisi Muslim dan dibawa ke Polsek. Saya dirawat selama tujuh hari bersama korban yang lain. Dan kini saya berada di suatu tempat di Ternate.
Ibu Musriah (40 th) Pengungsi asal Makian Talaga:
Saya juga berlindung di Masjid yang sama. Lebih dari 50 laki-laki Muslim dicincang termasuk suami saya. Bagian belakang kepala saya juga mereka tebas dengan golok, tapi alhamdulillah saya masih hidup. Telapak tangan saya ini ditembus panah. Saya dan tiga orang anak lainnya diselamatkan aparat Muslim.
Ibu Nurain (20 th):
Suami saya, Asnan Awal, telah syahid dibunuh orang kafir. Saya sendiri dalam peristiwa yang sama kena panah di panggul kiri. Di dalam Masjid, ibu-ibu dan anak-anak kecil banyak yang ketakutan. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, banyak anak-anak usia balita diambil oleh orang Kristen dengan paksa. Saya memohon dengan lemah agar saya dan anak saya yang masih kecil (3 th) jangan dibunuh. Akhirnya bersama enam Muslimah lainnya, saya diikatkan kain merah di kepala dan di masukkan ke atas truk. Kami melewati Desa Kupa-Kupa, di Desa Usosiat, anak saya diambil dan diserahkan ke rumah pendeta. Saya waktu di Masjid juga melihat ada seorang Muslimah yang masih gadis dibakar hidup-hidup gara-gara tidak mau melayani syahwat orang kafir itu.
Ibu Yani Latif (17 th):
Suami saya telah syahid. Anak saya, yang masih bayi, Nita (13 bulan) diambil orang Kristen. Dengan truk saya juga dibawa ke Desa Kupa-Kupa, tapi saya melarikan diri dan kembali ke Togolihua. Masjid al-Ikhlas telah jadi puing dengan tumpukan mayat yang telah hangus terbakar.
Syahnaim (25 th):
Dua anak saya yang berusia enam dan tujuh tahun diambil orang Kristen. Sedang adiknya, Awi (2 th) dicincang mereka hingga syahid. Saya melihat sendiri, bagaimana sadisnya Bahrul (32 th) dibunuh orang kafir. Mayatnya disalib, dan naudzubillah, kemaluannya dipotong. Lalu potongannya itu disumpalkan ke mulut mayatnya. Seorang anak balita, Saddam (5 th) digantung lalu dibelah dari atas ke bawah seperti ikan. Nenek Habibab (80 th) digantung di pohon jeruk yang diikat dengan rambutnya di pohon lalu dicincang.
Hamida Sambiki (18 th), muslimah ini diambil paksa oleh orang Kristen dari Masjid An-Nashr Desa Popelo. Ayahnya yang berusaha menahan dibantai. Para perusuh Kristen merencanakan mau mengawinkan Hamida dengan anak pendeta di Tobelo. Namun oleh seseorang yang mengaku keluarga Nasrani, Hamida berhasil diselamatkan ke Polsek Tobelo. Hamida saat di Masjid An-Nashr melihat pembantaian umat Islam oleh perusuh Kristen.
Munir (25 th) dibakar hidup-hidup dan mulutnya disumpal kotoran manusia, Haji Man (70 th) dipenggal lalu kepalanya yang sudah terpisah dengan tubuhnya itu ditusuk dengan panah dan dibuat mainan diputar-putar di dalam Masjid. Hamida juga melihat bagaimana seorang Muslim, Malang (50 th), dibunuh secara sadis. Kemudian jantungnya diambil. Orang kafir yang mengambil jantungnya berkata, “Ini buat hadiah lebaran”
Ridwan Kiley (29 th) dan Ibu Rahmah Rukiah, Keduanya penduduk Desa Lamo, Kecamatan Galela. Menuturkan kesaksiannya, setelah selamat dari ‘neraka’ pembantaian orang Kristen di Galela (26/12), di Islamic Centre, Ambon, seperti dikutip dalam Republika (5/1). Pada Ahad sore (26/12/99), Kecamatan Galela yang didiami mayoritas Muslim diserang massa Kristen dari tiga Kecamatan mayoritas Kristen: Loloda, Ibu, dan Tobelo. Penyerangan di Galcia, juga menimpa Desa Lamo. Pukul 14.00 siang lebih dari 7.000 massa Kristen menyerang. Sekitar 200 warga Muslim Desa Lamo bertahan. Perlawanan itu dipimpin Imam Masjid Nurul Huda, Ds. Lamo, H. Djailani. Saat itu, massa Kristen memotong puluhan ekor babi disepanjang kampung dan darahnya dilumuri ke senjata-senjatanya. “Wanita-wanita mereka juga bertelanjang dan menari-nari di sepanjang kampung,” kata Ridwan dan Ibu Rukiah. Tak berapa lama, serangan serentak dilakukan dan Desa Lamo dikepung. Dalam pertempuran, Imam Djailani menemui syahid. Dengan sadis mayat Imam Djailani di salib dan ditempatkan di perbatasan Desa Lamo dan Kampung Duma. Setelah beberapa jam tergantung di tiang salib, baru pada malam harinya mayat Imam Djailani diturunkan dan dikuburkan oleh warga Muslim yang berhasil menyelamatkan diri.
3 komentar:
Mas saya masih kurang paham tentang tragedi ambon maluku ini, kenapa mereka begitu kejam terhadap umat muslim, apa salah umat muslim sehingga mereka memperlakukan umat muslim seperti itu? Tolong di share ya mas @hasrum jaya
Posting Komentar