Saya memandang bunga-bunganya yang jatuh (bunga itu terlalu berat sehingga tidak bisa dikatakan melayang). Ada yang jatuh diatas atap ijuk yang menaungi; ada yang memeluk gundukan tanah; adapula yang terbawa alunan kali kecil –yang airnya– berwana kehijauan. Bunga itu berwarna kuning pada inti dan putih di pertengahan ujung kelopaknya. Bunga perlambang kematian itu menghablurkan wewangiannya di udara.
Penaikan bendera di hari kemerdekaan dilangsungkan. Dari kejauhan, suara speaker sampai diteliga. Lapangan tempat camat main bola setiap sorenya, kini menjadi tempat berdiri tegak bagi ke ratusan orang –termasuk kesembilan teman saya. Sementara mereka di panggang matahari, saya malah menguap di tempat orang-orang lain sering kesurupan. Sementara mereka berkeluh kesah mendengarkan pidato yang isinya itu-itu juga –selama bertahun-tahun– saya tertawa mendengarkan suara kucing, kebelet pipis. “Wew emangnya enak!”
Saya memang seperti ini. Sewaktu SMA saya lebih memilih melompati pagar demi mencari tempat yang aman untuk meminum kopi dan bermain judi1). Ketimbang, mengikuti upacara bendera yang membuat lengan saya pegal akibat hormat terlalu lama. Saya benar-benar malas, melihat kearah tiang bendera. Bagaimana tidak? arah pancangnya searah dengan terbitnya matahari.
Cerita seperti ini merupakan kebanggan. Yang namanya kebanggaan tentunya gatal untuk dipamerkan. Sialnya!, ketika memamerkan cerita itu pada seorang kordinator lapangan di desa lain. Ia memeberengut. Difikir, ia bakal ikut tertawa seperti seperti orang lain tertawa. Kebalikannya, ia malah menganggap tindakan saya, sebagai ‘kejahatan’. Apes sekali bercerita tentang ‘dagelan’ masa puber, kepada orang yang berjiwa nasionalis tinggi.
Usut punya usut, ternyata dia pernah jadi anggota Pakibraka di kecamatannya. Makanya lumrah, ketika dia berniat membuat koordinator desa ini taubatan nasuha!. Teman saya itu pun memulai ceramahnya dengan menjabarkan diorama peperangan. Dilukiskannyalah rentetan peluru seliweran “Tratat! Tratat! Bum!!!”; Di dongengkannyalah pemuda-pemudi yang bertelanjang kaki membawa bambu runcing; serta keikhlasan masyarakat menyerahkan kambing piaraannya, untuk dimakan pejuang kemerdekaan. Akhirnya sayapun menyadari bahwa saya tidak memiliki jiwa nasionalis. Karena, pada faktanya saya memang tidak nasionalis. Dan saya tidak mau menjadi seorang nasionalis. Najis!!!
Senyum dong! Kalian jangan cemberut gitu ah!. Jangan dahulu membenci? Meski tidak berjiwa nasionalis, saya orangnya baik lho! Meski saya tidak berkeyakinan nasionalis kalian jangan sembarangan menjatuhkan vonis, sebelum bertanya mengenai alasan mengapa saya tidak mengikuti upacara bendera (selain malas).
Baiklah!, mari sini berkumpul. Mari menganggap disekeliling kita bukan beton kamar, melainkan sebuah perkebunan kurma. Saya akan berperan seperti halnya Mushab bin Umair saat membawa misi dari baginda Rasulullah Muhammad. Sambil bersidekap, dengan gagahnya sayapun berucap:
“Apabila kalian menganggap, bahwa apa yang akan saya utarakan, baik untuk kesehatan pikiran. Maka, silahkan diterima. Dan jika, apa yang saya sampaikan buruk, maka kalian boleh meninggalkan saya”.
“…”
Masih mendengarkan?
O, kalau begitu terima kasih. Mari menyimak, apa sebab saya bertindak-tanduk tidur di kuburan –ketimbang ikut upacara di hari yang gempita. Untuk jelasnya, diawalan ini, saya akan mengutarakan definisi Nasionalisme. Harap dimaklumi jika penjelasan saya ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi.
Mulai!
Kelahiran Nasionalisme diatas Reruntuhan Imperium Romawi
Semula, dinyatakan Ensiklopedi Pustaka Time Life, berjudul Kelahiran Eropa, bahwa Romawi merupakan kesatuan utuh yang tidak terbagi. Namun, dalam perjalanannya, –imperium tersebut– direpot-rapuhkan oleh serbuan bangsa-bangsa “Barbar” dari German (suku bangsa Visigoth, Ostrogoth, Vandal, Goth)2). Bertambah tahun, Romawi merasakan desakan bangsa barbar semakin menguat dan membahayakan. Karenanya, Konstantinus (sang kaisar), membuat manuver politik. Ia membagi Romawi menjadi dua: Romawi Barat dan Timur. Pembagian itu terpaksa dilakukannya, agar kekuatan militer menjadi efektif.
Bukannya menguatkan kembali posisi imperium Romawi, –pembagian tersebut–, malah menimbulkan dampak yang merugikan. Kekaisaran Romawi bagian Barat melemah!. Terobosan satuan tempur berformasi acak (baji) bangsa-bangsa Jerman –yang memang memiliki kegemaran berperang–, menimbulkan kekisruhan. Dampaknya, imperium besar Romawi runtuh!. Wilayah Timurnya, mengasingkan diri, selama seribu tahun. Peradaban baru ini dikenal dengan sebutan: peradaban Byzantium (ibukotanya: konstantinopel)..
Usai menghancurkan Romawi, suku bangsa Jerman merubah geopolitik di bekas kekuasaan Romawi Barat. Peta imperium Romawi di gantikan dengan peta-peta baru, yang pemisahan wilayahnya (teritorial) didasarkan pada kesamaan bahasa serta asal bangsa yang melakukan ekspansi. Pemetaan, memunculkan kelahiran Eropa. Wilayah yang semula berbentuk imperium besar, kini menjadi wilayah yang memiliki beraneka ragam nation state3).
Internasionalisme melawan nasionalisme
Apa kaitan antara sejarah nasionalisme dengan saya yang tidak nasionalis? Tentunya terkait dengan paham internasionalisme yang akan saya bahas untuk dijadikan pembanding. Sebelum itu, terlebih dulu, saya harus mengorek-ngorek fakta pada zaman –yang sama—mengenai internasionalisme ketika Kekhilafahan (negara Islam) muncul di jazirah Arabia.
Pada saat bekas wilayah Romawi dipeta-petakan (seperti yang saya sampaikan pada paragraf atas) ke dalam negara-negara suku-bangsa, ikatan masyarakat negara Islam berbeda dengan ikatan masyarakat yang ada di dalam nation state (yang didasarkan kebangsaan). Faktanya, di masa Muhammad, pemerintahan Islam memiliki penduduk yang punya keanekaragaman keyakinan, ras dan bangsa. Pemerintahan Islam tidak membedakan penduduk berdasarkan asal suku bangsa, dan bahasa. Ke-egaliteran ini, diteruskan oleh penggantinya dalam bidang pemerintahan (bukan kenabian). Penerus Muhammad ini dinamakan khalifah, sedangkan negaranya disebut Kekhilafahan.
Di masa Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, penaklukan-penaklukan terjadi (jazirah Arabia dan Persia dikuasai). Pada masa-masa selanjutnya, –melalui serangan Muhammad Al Fatih– pada tahun 1453, gerbang Konstantinopel setebal puluhan meter, di terobos. Peradaban Byzantium-pun, runtuh. Tak peduli penduduknya berbahasa apa; bersuku bangsa apa, bekas wilayah Byzantium digabungkan dengan Kekhilafahan Islam. Sejarah itulah yang menguatkan kesimpulan, bahwa Kekhilafahan (Negara Islam) yang melandaskan sistem pemerintahannya dengan ajaran Islam, tidak mengenal paham negara kebangsaan (nasionalisme).
Masuknya faham nasionalisme –di dunia Islam–, berawal, ketika pusat Kekhilafahan di Turki –yang memang sudah lemah– mengalami goncangan pemikiran. Hal itu terjadi, –sekitar– dua abad sebelum gerakan Turki Mudanya Kemal Pahsya4) mengawali revolusi, menggunakan baju kebangsaan, pada awal abad ke-20
Melalui gerakan tersebut, pada tanggal 3 Maret 1924 sistem pemerintahan Islam berakhir. Sistem Kekhilafahan –yang merentang selama lebih dari 13 abad itu–, dihapuskan setelah Kemal Pahsya mengeluarkan maklumat Komite Nasional yang berisi : penghapusan system Kekhilafahan, pengusiran Khalifah serta penetapan konsep pemisahan agama dari Negara (sekularisme).
Sejak keruntuhan Kekhilafahan, satu persatu negeri-negeri Islam membebaskan diri dari cengkraman penjajahan dengan mengatas namakan kekuatan bangsa. Siria, Iraq, Libanon, Palestina, Mesir, Indonesia, Arab –yang semula menjadi bagian dalam wilayah Kekhilafahan–, memerdekakan diri. Kemudian, memproklamirkan diri sebagai negara bangsa. Negeri-negeri Islam yang semula satu menjadi terpecah.
Sejarah nation state di dunia, dan nation state yang bermunculan setelah sangsakala Kekhilafahan datang, menguatkan kesimpulan. Bahwa, sistem pemerintahan Islam (Kekhilafahan) tidak mengenal nation state (negara bangsa) dan Islam tidak mengenal faham kebangsaan (nasionalisme). Islam hanya mengenal konsep internasionalisme dalam sistem pemerintahan yang dinamakan Kekhilafahan.
“Interupsi!”
“Silahkan?!”
“Bukankah didalam Al Quran terdapat ayat yang menceritakan kita diciptakan bersuku-suku bangsa”.
“Segitu aja?”
“Segitu dulu!”
“Ah kecil kalau begitu!”
Apa yang kamu katakan benar! Tetapi, ayat yang mahsyur itu tidak tepat dilposisikan seperti itu. Ayat tersebut, hanya mengutarakan fakta, bahwa manusia berasal dari beragam suku bangsa. Keanekaragamaan tersebut merupakan anugerah yang Allah berikan. Agar, manusia saling memahami dan mengerti akan arti keindahan mengenai penciptaan –keanekaragaman– suku bangsa. Apakah ayat tersebut menitahkan manusia, untuk membentuk suatu negara bangsa? Tidak kan?”
“Ya, bagaimana ya? Tapi kan, ada istilah yang mengatakan hubuul wathan minal Iman bahwa mencintai tanah air merupakan sebagian dari iman?. Rasulullah mencintai tanah airnya toh?”.
Muhammad memang mecintai tanah airnya. Bahkan, dalam hijrah menuju Madinah, riwayat megggambarkan bagaimana ia merasa berat, meninggalkan kota kelahirannya: Mekah. Tetapi, –saya fikir– apa yang dilakukan Muhammad tidak bisa dijadikan justifikasi agar faham kebangsaan (nasionalisme) dijadikan sebagai ikatan kenegaraan.
Memang benar, semua manusia berhak menyatakan kecintaannya pada tanah air. Semua manusia berhak menyatakan dirinya berasal dari suku bangsa tertentu. Saya berhak mengatakan abdi teh urang Sunda (saya orang Sunda), Tulang dari Batak, sampeyan dari Jawa Timur, kaban dari Palembang. Sah-sah saja kita mengakui dan mencintai asal suku-bangsa! Akan tetapi, –menjadi tidak sah– ketika paham kesuku-bangsaan, dijadikan pengikat antar manusia dalam sebuah Negara.
Islam menolak konsep Negara yang ikatannya didasarkan pada trah atau turunan (bangsa). Sebab pada faktanya, negara kebangsaan tidak pernah dicontohkan oleh Muhamad beserta para sahabatnya. Lagipula, jika kita melihat fakta –saat ini–, nasionalisme malah menghancurkan kekuatan ikatan akidah umat Islam. Nasionalisme dalam dunia Islam membuat satu muslim dengan muslim lain –yang memiliki kebangsaan berbeda—saling berseteru.
Bukankah pertikaian antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1960-an bukan saja terjadi, karena perang ideologi, melainkan perang antar Nation state>? Bagaimana dengan konflik –antar muslim—lainnya di negara nasionalis Iran-Iraq pada tahun 80-an? Bagaimana dengan kasus Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia? Bagaimana dengan konflik antar negara nasionalis Kuwait dan Irak ketika perang teluk terjadi, padahal mereka sama-sama satu ikatan akidah dengan kita? Nasionalisme kah penyebabnya!? Ya!!
Nasionalisme adalah biang keladi atas matinya empati kaum muslimin terhadap penderitaan saudaranya di berbagai belahan dunia. Hanya karena kita berbeda teritori (berbeda nation state), apa yang terjadi di Palestina (contoh kecil) dianggap sebagai permasalahan luar negeri Indonesia. Hanya karena berbeda teritori, simpati yang diutarakan Indonesia (dan negara bangsa lainnya) hanya simpati palsu berupa kecaman yang tidak sampai pada tindak nyata.
Nasionalisme, mengakibatkan kaum muslimin di set untuk memikirkan diri sendiri; memikirkan hanya kepentingan bangsanya sendiri, bukannya memikirkan penderitaan yang dialami oleh sesama muslim lainnya.
Betapa sakitnya jika dunia terbalik, kemudian kita –yang menggantikan posisi mereka di Palestina–, mendengar bahwa saudara kita di Indonesia mengatakan, “Ah itu urusan Timur Tengah, bukan urusan dalam negeri kita”. Betapa sakit hatinya bukan? Padahal dahulu ketika negara internasional Kekhilafahan masih ada hal seperti ini tidak terjadi.
Di masa Mu’tasim Billah menjabat sebagai Khalifah, sejarah memberitakan mengenai adanya siaran kabar mengenai seorang muslimah yang dizalimi! Di katakan dalam lembaran sejarah bahwa muslimah tersebut ditarik kerudung dan diperkosa kehormatannya –oleh penduduk Amuriyah. Mendengar pelecehan itu, Khalifah tidak berdiam diri. Ia segera mengirimkan surat pada raja Amuriyah. Ia mengancam akan mengirimkan pasukan yang kepalanya ada di Amuriyah sementara ekor pasukanya masih ada di Baghdad. Ancaman itu dibuktikan. Muslimah yang dizalimi dibebaskan. Amuriyah pun, ditundukkan oleh Kekhilafahan Islam.
Untuk menjaga kehormatan satu orang muslimah saja, seorang Khalifah mengomandoi penyerangan besar seperti itu. Lantas, ketika Kekhilafahan diruntuhkan oleh Kemal Pahsya Ataturk, apa yang dilakukan berpuluh-puluh pemimpin negeri Islam yang nasionalis upayakan? Ketika jutaan galon darah kaum muslimin ditumpahkan, apa yang dilakukan oleh pemimpin negara nasionalis Arab Saudi, Yordania, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Mesir dan lain sebagainya lakukan? Di Usbekistan saat aktivis Islam di tangkap dan diperlakukan tidak manusiawi; di Chechnya ketika pembantaian dilakukan oleh Slobodan Milosevik; di Palestina ketika Ariel Sharon membombardir Sabra dan Shatilla hingga penembakan Muhammad Aldurra; dan pembunuhan ratusan santri pesantren di Poso; Pelecehan kaum muslimin di Amerika Serikat, Australia, Inggris –sejak tragedi WTC terjadi— ‘pemimpin Islam’ nation state mana, yang bersikap seperti Mutasim Billah?
Jika kaum muslim mengambil pemahaman nasionalisme sebagai ikatan maka kerugianlah yang akan terus dialami. Jika nasionalisme terus diyakini maka –disamping pembantaian—kerugian lain yang akan terus terjadi, misalnya: seorang muslim akan terus-menerus diharuskan untuk membayar passport dan visa ke negara lainnya hanya untuk bekerja dan memperoleh hikmah pendidikan. Bayangkan, bahkan, untuk mengunjungi dan melakukan tawaf di tanah haram kita diperas habis-habisan oleh Saudi Arabia. Bukankah dimasa ketika Kekhilafahan Islam berdiri, seluruh kaum muslimin berhak keluar masuk wilayah Islam manapun termasuk untuk beribadah menuju Mekah? (tanpa mengeluarkan sepeser uangpun untuk karcis masuk kedalamnya).
Jika pandangan atau himbauan terhadap kerusakan ide nasionalisme dianggap sebagai ide sektarian –karena saya menuliskan melulu merugikan kaum muslimin belaka– maka sesungguhnya nasionalisme merupakan pemahaman destruktif jika dianut umat manusia. Nasionalisme adalah faham chauvinistic terselubung, yang secara gamblang di pertontonkan oleh negara Fasis! Jerman, Italia dan Jepang pada perang Dunia ke-II.
“Tapi kan nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bermartabat?
“Bermartabat Simbahmu!!!”
Jika menganggap nasionalisme Indonesia bermartabat hanya karena ada anggapan bahwa nasionalismenya memiliki egalitarian serta berprinsip pada kesamaan hak antar bangsa untuk saling menghormati, saya fikir itu kencing kucing! (Ngiau!). Itu hanya upaya pemelintiran bahasa karena faham nasionalisme manapun merugikan umat manusia dalam masalah distribusi kekayaan.
Nasionalismelah bertanggung jawab terhadap pengabadian kemelaratan! Dalam kemartabatannya, tidak ada satu negara bangsa pun yang mau melakukan pemerataan sumber daya alam. Dengan kemartabatannya, negara miskin seperti Ethiophia, Zimbabwe, Rwanda tetaplah miskin dalam kesendiriannya. Sedangkan, nation state Brunei Darussalam, Malaysia tetap kaya dengan kekayaan alamnya.
Dimana letak nasionalisme yang bermartabat, seandainya pertolongan negara-negara kaya hanya berkisar pada penyaluran sedikit bahan pangan!? (bukannya, pembagian distribusi kekayaan alam yang merata?) Padahal, tidak ada manusia yang memilih dilahirkan dalam sebuah teritori yang memiliki SDA yang miskin atau kaya. Bagi saya, nasionalisme bukanlah ide yang fair bagi umat manusia.
“…”
Apa penjelasan panjang ini, menjadikan kalian tetap mau memvonis bahwa saya tidak ikut upacara bendera hanya karena malas? Tidak kan? Kini kalian mengetahui landasan pemikiran, yang –akhirnya– menjadikan saya tidak mengikuti upacara dilapangan desa..
“Nanti dulu, lantas apa alasanmu tidak mau hormat ke bendera?”
“Saya tidak mau menghormati sesuatu selain Allah. Saya tidak mau mensakralkan sesuatu yang tidak Allah perintahkan untuk mensakralkannya. Beginilah saya”
Nah, sekarang, adakah kalian mendapat kejelasan. Seperti halnya, Saad bin Muadz kala –mendapat pencerahan dari Mushab bin Umair–, di kebun kurma?
“..”
Ah, saya tidak begitu mau memikirkannya. Toh, definisi pencerahan pun berbeda di tiap kepala. Saya mengklaim apa yang saya utarakan sebagai pencerahan. Sementara, –bisa jadi—kalian mengatakan apa yang saya utarakan bukanlah pencerahan. Silahkan memilih, manusia memang dikarunia kemampuan untuk memilih (tentu diembel-embeli oleh konsekuensinya). Sudah siap konsekuensinya?
Kalau saya?. … Demi Allah, saya siap!
———————————————
Catatan Kaki 

1) Sekarang saya anti judi lho!
2) Dulu saya punya berjiid-jilid ensiklopedia sejarah peradaban dunia (Mesirm, Yunani, Romawi, Kelahiran Eropa Byzantium, Rennaisance, dan Reformasi) Sekarang gak ada yang kesisa. Orang yang saya pinjamin kok gak ngembaliin sih. Kembaliin dong! Makanya harap dimaklumi, jika dalam menulis essay ini keakuratannya kurang terjaga. Sebab, saya hanya mengandalkan ingatan. Tapi, tenang ajah dech loe! secara garis besar tulisan ini bisa dipertanggung jawabkan (ya 99%lah).
Sekedar ingpo! (ada nun mati bertemu fa : dibacanya ngirung, samar) :
Karena tampan dan bertubuh kekar, lelaki bangsa-bangsa Barbar membuat lelaki Romawi iri hati. Sayangnya, mereka itu bau. Karena, gemar menggunakan mentega di rambutnya – supaya keliatan ganteng–. Wanitanyapun membuat iri hati wanita-wanita Romawi, sebab wanita bangsa tersebut, memiliki mata biru berambut merah, ikal berombak.
3) Setiap konsep, pasti memiliki alur sejarah yang memiliki tonggaknya sendiri. Bisa jadi, konsep nasionalisme, telah muncul sebelum keruntuhan imperium Romawi. Tetapi, berdasarkan ensiklopedia tersebut, saya masih beranggapan bahwa tonggak kemunculan nasionalisme, adalah ketika, bekas wilayah kekuasaan Romawi, mulai diperintah oleh suku-bangsa Jerman.
4) Nantinya dikenal dengan nama Attaturk: bapak bangsa Turki)
[sumber: Dont Panic I'm Muslim, 2011]
www.arrahmah.com