Pemilihan
dan perebutan kekuasaan secara langsung merupakan fenomena terbaru dalam
politik kontemporer-pragmatis di Indonesia. Fenomena tersebut tidak hanya
menyinggung teori konflik secara sederhana, akan tetapi memasuki wilayah
konflik perangkat politik yang paling mendasar dalam sistem
kepemerintahan. Dalam sistem politik pemerintahan Indonesia yang berpedoman
pada nilai nilai kewilayahan dan substansi lokal, nilai kepentingan menjadi
faktor penentu perkembangan dan keputusan politik yang bermuara pada kekuasaan.
Nilai
kepentingan selalu berkorelasi positif dengan seberapa besar target penguasaan
terhadap wilayah itu sendiri dan berbanding lurus dengan kepentingan perangkat
politik khususnya yang bersinggungan dengan aset-aset milik negara.
Perkembangan pemilihan dan perebutan kekuasaan secara langsung menciptakan
varian-varian baru pada tingkat implementasinya. Contoh semu adalah pelaksanaan
pilkada disetiap tingkat kewilayahan yang telah menciptakan berbagai bentuk,
sikap, keputusan maupun alur politik sesuai kepentingan dan kekuasaan yang
diperebutkan.
Berbicara
pilkada tidak lepas dari urusan kepentingan pemerintahan, baik nasional maupun
lokal. Pilkada menjadi salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan demokrasi
dan desentralisasi, juga menjadi nilai ukur dari konsistensi kebijakan
pemerintahan dalam menerapkan kehidupan politik di Indonesia. Kebijakan
pemerintahan yang konsisten akan mempercepat proses
pendewasaan politik dimasyarakat dan memperkuat perangkat-perangkat politik dalam
sistem politik yang masih rapuh dan belum memiliki bentuk. Sebaliknya,
kebijakan pemerintah yang inkonsisten menjadi pemicu hancurnya perangkat
politik yang dibangun dan menjadi aktor utama proses eleminasi partisipasi
politik lokal.
Kebijakan
pemerintah selalu memasuki ruang kepentingan publik lokal. Akan selalu bernilai
positif jika kebijakan tersebut dikelola secara teratur yang memungkinkan
terjadinya kesesuaian dengan perkembangan politik diberbagai level politik.
Konteks ini merupakan artian dari teori politik yang menyatakan bahwa
keteraturan dan kemapanan demokrasi ditingkat nasional yang diwakili oleh
kebijakan pemerintah akan ditentukan oleh proses konsolidasi demokrasi
ditingkat lokal (kebijakan pemerintah lokal) sehingga prosesi pemilihan dan
perebutan kekuasaan secara langsung memerlukan ritme politik yang selaras.
Tidak
jauh berbeda dengan ungkapan Tip O’Neil tentang ”all Politics is local” yang
menyatakan bahwa demokrasi tingkat nasional akan tumbuh dan terkonsolidasi
menjadi perangkat dan instrumen politik yang kuat dan mapan jika ditunjang oleh
politik tingkat lokal yang mengakar membentuk demokrasi yang utuh atau dengan
kata lain, demokrasi tingkat nasional bergerak akan ke kutub positif apabila
terbentuk tatanan dan perangkat politik lokal yang mengalir membentuk
konfigurasi dan sikap politik yang santun antar lokal dan nasional.
Teori
politik dan ungkapan Tip O’Neil bersesuaian dengan aksi demonstrasi ratusan
kepala desa yang tergabung dalam Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa Nusantara
(Parade Nusantara) tanggal 8 Februari 2006 yang melahirkan polemik baru di
pemerintahan. Aksi ini merupakan gambaran kecil dari perkembangan politik lokal
yang selama ini berupa politik potensial kultural bergerak membentuk politik
kinetik modern yang bermuara kepada diversifikasi kepentingan politik ditingkat
lokal demi perebutan kekuasaan
Substansi
terpenting dari aksi demonstrasi berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang
selama ini diterapkan dalam pelaksanaan pemilihan dan perebutan kekuasaan
secara langsung yang dinilai tidak konsisten. Substansi aksi tersebut adalah
tuntutan merevisi Peraturan Pemerintah No 72/2005 tentang Desa dan
Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya pasal 16 poin
(a) PP No 72/2005 yang melarang kepala desa menjadi pengurus parpol dan pasal
16 poin (d) yang melarang kepala desa terlibat dalam kampanye pemilu, pemilihan
presiden, dan pemilihan kepala daerah. Aksi ini merupakan bentuk protes
terlembaga akibat ketidakkonsistensian kebijakan pemerintah terhadap
kepentingan lokal sehingga memperjelaskan ketidaksiapan pemerintah dalam
menyelaraskan dengan kepentingan politik lokal.
Ketidakkonsistenan
pemerintah terlihat dari beberapa hal, pertama penerapan hukum atau kebijakan
pemerintah yang ambivalensi dan bermuka dua. Dalam implementasi PP No 72/2005
aparat pemerintah dilarang berpolitik dan ikut berkompetisi dalam perebutan
kekuasaan, akan tetapi pada Undang-Undang No 32/2005 aparat pemerintah
diharuskan berpolitik dengan menggunakan kendaraan parpol dalam memperoleh
kekuasaan. Ketidakkonsitenan ini tidak hanya merugikan kelembagaan pemerintah
oleh kepentingan politik, bahkan lebih dari itu, pemerintah melanggar hukum dan
menjadi terpidana disistem hukum yang dibuat sendiri.
Kedua,
ketidakkonsistenan pendistribusian anggaran negara dalam mengembangkan politik
di masyarakat. Pemerintah berupaya keras untuk membiaya pemilu, pilpres dan
pemilihan kepala daerah melalui serangkaian kebijakan yang terkadang lintas
sektoral, berbeda jauh dengan pemilihan kepala desa yang harus membiayai
dirinya sendiri tanpa dukungan kebijakan pemerintah nasional maupun lokal
padahal dari sisi kepentingan dan keadilan politik, pemerintah berkewajiban
memfasilitasi pilkades sebagai tugas mengembangkan politik lokal. Jika ini tidak
terjadi, pemerintah telah menjadi pihak yang mematikan perkembangan politik
lokal, sekaligus menjadi faktor penghambat dalam penerapan demokrasi di tingkat
nasional.
Ketidakkonsistenan
ketiga adalah pemisahan aparat dari politik. Pemisahan aparat pemerintah bisa
dilakukan jika pemerintah dengan tegas melakukan pembenahan dan penyeragaman
aturan agar segala bentuk pemilihan untuk perebutan kekuasaan meminimalkan
campur tangan politik baik kultural dan modern. Akan tetapi jika kita analisis
lebih mendalam tentang tindak tanduk pemerintah dan aparat pemerintah dalam
berpolitik, tidak ada perbedaan nyata disetiap level baik nasional, lokal
hingga tingkat masyarakat hampir semua berpolitik dengan atau tanpa akses dan
fasilitas pemerintahan atas dasar loyalitas dan kepentingan umum, termasuk
penggunaan kepala desa sebagai ujung tombak perebutan suara untuk kekuasaan.
Jika ini tetap dilaksanakan akan semakin menceburkan pemerintah ke dunia
politik dan semakin jauh keinginan memisahkan pemerintah dari politik sehingga
keberadaan pemerintah ke depan akan selalu ditentukan oleh politik itu sendiri.
Banyak
hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk kembali menjadi pihak konsisten
dalam menerapkan kebijakannya, antara lain membuat aturan terpisah tentang
pelaksanaan pilkades dengan tetap mengacu pada aturan yang sudah ditetapkan.
Aturan tersebut tidak hanya berisi pelaksanaan teknis tetapi merupakan aturan
yang bermuara pada pelaksanaan desentralisasi politik yang menghargai potensi
dan perkembangan politik lokal sehingga tidak dipandang sempit sebagai jalan
tengah bagi pemenuhan aspirasi lokal dan penghentian konflik sementara.Langkah
lain yang bisa dilaksanakan pemerintah adalah legalisasi keinginan para
aparatur pemerintah untuk berpartisipasi aktif dalam dunia politik dengan
batasan-batasan tertulis dan mengikat sehingga kepentingan secara individu
sebagai warga negara yang memiliki hak politik bisa diselaraskan dengan
kewajiban aparat pemerintah dalam melayani warga negara.
Berdasarkan
kondisi diatas, kadar konsistensi kebijakan pemerintah selalu ditentukan oleh
kepentingan pemerintah, penggunaan aset-akses, dan protes aktif aparat dalam
berpolitik guna mempertahankan kekuasaan yang dimiliki. Dengan kata lain,
pemerintah akan semakin tidak konsisten ketika kepentingan mempertahankan
kekuasaan lebih besar dibanding mempertahankan penghargaan terhadap
perkembangan politik lokal dan kondisi politik yang kondusif.
0 komentar:
Posting Komentar